Wikipedia

Search results

MAKALAH PRAKSIS GOOD DAN CLEAN GOVERNANCE


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Good governance sering digunakan sebagai standar sistem goodlocal. Good and clear governance di katakan baik unutuk mangamati proyek demokrasi dalam suatu negara. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggung jawabkan kepada publik apa yaneka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang Presiden Gubernur, Bupati, Wali, Kota, anggota DPR, MPR, dan penjabat pilitik lainnya harus menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan X, bukan kebijakan Y, mengapa memilih menaikan pajak ketimbang melakukan efesiensi dalam pemerintahan  dan melakukan pemberantasan korupsi sekali sekali lagi apa yang dilakukan oleh penjabat publik harus terbukadan tidak ada yang ditutup unutuk pertanyakan oleh publik.
Tidak hanya itu apa yang dilakukan oleh keluarganya, sanak saudara dan bahkan teman dekatnya sendiri sering di kaitkan dan di letakkan pada posisi penjabat publik, mengapa demikian? Alasan sebenarnya sederhana saja, karena penjabat tersebut mendapat amanah dari masyarakat maka dia harus dapat menegang amanah tersebut. Konsep Good Governance pertama kali di perkenalkan oleh UNDIP, sebab menculnya konsep ini di sebabkan oleh tidak terjadinya aakuntabilitas, transparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di beri batuan dan tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehingga negara maju enggan memberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karenabelum terciptanya sistem bioraksi yang efektif, efesiesien dan tidak hanya transparansi, akuntabilitas bantuan dana dari negara maju.
Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang dilakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan diturunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebgai suatu aspek dalam paradigma baru ini menekankan pada peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintahah pusat, taanparansi, akuntabilitas publik dan diciptakan pengelolahan manajerial yang bersih an bebas dari korpsi. Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di pergunakan secara reguler di dalam ilmu politik dan administrasi negara. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah konsep tata pemerintahan yang  diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan goverment yang artinya pemerintahan.
Karena governmaent hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastuktursebuah infrastuktur, maka governance juga berbicara tentang suprastukturnya. Perbedaan paling pokok antara “goverment” dan “governance” terletak pada bagaimna cara penyelnggaraan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi dalam pengelolahan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintahan ynag lebih dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Good Governance?
2.      Bagaimana Clean Governance?
3.      Bagaimana Menuju Clean and Good Governance?

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Good Governance
2.      Untuk Mengetahui Clean Governance
3.      Untuk Mengetahui Menuju Clean and Good Governance












BAB II
     PEMBAHASAN
A.    GOOD GOVERNANCE
Konsep governance dalam good and clean governance banyak masyarakat meracukan dengan konsep government.Konsep governance lebih inklusif dari pada government. Konsep government menunjuk pada suatu organisasi pengelolahan bedasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintahah). Konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie Rochman, 2000: 141).
Good dalam good governance menurut lembaga Administrasi Negara (2000:6) mengandung dua pengertian.Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pecapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Bedasarkan pengertian tersebut, LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance berorietasi pada 2 (dua) hal, yaitu orientasi ideal negara yang diarahkan pada pecapaian tujuan nasional dan pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efesien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen kostituennya, seperti legitimacy (apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountabilitas (akuntabilitas), securing of human ringh, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompentensi dan stuktur, serta mekanisme poloitik dan administrasi berfungsi secara efektif. Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan wujud good governance menurut LAN (2008:8) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Workshop yang diselenggarakan oleh UNDIP menyimpulkan “that good governance system are participatory, impliying that all members of governance institutien have a voice in influencing decision-making”(UNDIP, 1997:19).Sistem pemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance memiliki suara dalam memengaruhi pembuatan keputusan.Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi. Prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Siapa saja yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintah, organisasi masyarakat sipil (business and civil society organizayions) harus bertanggung jawab kepada publik, serta kepada institusi “stskeholders”. Institusi governance harus efesien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan rakyat, memfasilitasi (fasilitative) dan memberi peluang (enabling) ketimbang mengkontrol (controling), melaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan (the rule of law).
a.      Karateristik Good Governance
            Bertumpu pada pengertian good governance di atas, United Nasional Development Proramme sebagaimana yang dikutip lah Lembaga Administrasi Negara (2000:7) mengajukan karateristik good governance sebagai berikut.
a.       Patricipation.Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibagun atas dasar kebebasan berasosiasi serta berpartisipasi secara kontruktif.
b.      Rule of  law. Kerangka hukum adil dan dilaksankan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
c.       Transparency. Transparansi dibagun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi secra langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
d.      Responsiveness.lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap”stakelholders”.
e.       Consensus orientation.Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
f.       Eguity. Semua warga negar, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahterahan mereka.
g.      Effectiveness and effeciency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
h.      Accuntability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga “stakeholders”.
i.        Strategc vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangun manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

b.      Unsur-unsur Utama Good Governance
Merujuk dari karakter-karakter good governance tersebut diatas, Ganie-Rochman (2000:151) mengemukakan bahwa good governance terdapat empat unsur utama, yaitu accountabilitiy, adanya kerangka hukum (rule of law), informmasi, dan transparansi. Bhatta (1997:119) juga menyebutkan empat unsur governance, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law).
a.      Akuntabilitas (accountability)
Akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi telah digunakan secara tepat sesuai tujuan. Artinya, dan publik tadi benar-benar ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal (Hatry, 1996:164). Seiring dengan perkembangannya, akuntabilitas juga digunakan bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efesiensi ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha berusaha untuk mencari dan menemukan apakah  ada penyimpangan staf atau ketidakefesiensian atau ada prosedur yang tidak diperlukan.
Chaldler dan Plano (1992:107) mengartikan akuntabilitas (accountability) sebagai “refers to the institution of checks and balances in an administrative system”. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “checks and balance” dalam sistem administrasi. Akuntabilitas berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan  yang digunakan. The Oxford Advance Leaner s’ Distionary sebagaimna dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (2000:21), mengartikan akuntabilitas sebagai “required or excpected to give an explanation for one s’ action”.Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang diharapkan  untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Jadi, akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban, menjawab, atau menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan unyuk meminta keterangan atau pertanggung jawaban.
Bedasarkan uraian tadi, akuntabilitas dapat disimpulkan pula sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggung jawabkan pengelolahan dan pengendalian sumber daya, serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pecapaian tujuan yang telah ditetapkan melaui media pertanggung jawaban secra periodik.
b.      Transparansi (transparency)
Transparansi (transparency) lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan, program, dan proyek yang dibuat dan dilaksankan pemerintahan.Pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di Tingkat Pusat maupun di Tingkat Daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara  jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusankebijaksanaan publik dan implementasinya.Idealnya,  segala kebijakan dan implementasi kebijakan baik di pusat maupun di daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.
c.       Keterbukaan (opnness)
Keterbukaan (oponness) mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemeritahan yang di nilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang bersifat terbuka dan transparan dalam memberikan data dan informasi yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilian atas jalannya pemerintahan.
Fakta yang terjadi selama ini justru sering ditemukan bahwa prosedur “”tender” kompotitif suatu proyek pembangunan hingga penetapan keputusan pemenangnya masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan pemerintah sering tidak memperoleh penjelasan informasi tentang hasil atau kriteria penetapan pemenang tender proyek yang bersangkutan.
d.      Kerangka Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of law diartikan, “good governance” mempunyai karateristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat  dan peraturan perundangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan bedasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta publik memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya.
Pemerintahan yang baik dalam prinsip rurle of law dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang mampu mempertanggung jawabkan segala sikap, perilaku, dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (kontrol). Begitupun, jika dalam praktiknya telah nerugikan kepentingan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggung jawabkan dan menerima tuntutan hukun atas tindakan tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menerapkan prinsip-prinsip “good governance”, pemerintah harus memiliki perilaku bertanggung jawab (accountable), sekaligus meciprtakan mekanisme akuntabilitas maupun struktur kelembapan bagi berkembangannya partisipasi masyarakat (Nisjar, 1997:124).
B.     CLEAN GOVERNANCE
Pemerintah yang bersih (clean governance) terkait dengan akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya. Aktor dalam pemerintahan yang bersih dalam menjalankan tugas, funsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari etika administrasi publik (maladministration). Jelasnya, maladministration merupakan suatu tindakan administrasi publik yang menyimpang dari nilai-nilai administrasi publik.
Etika administrasi publik merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dan referensi bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan yang diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebgai standar penilian unutuk menilai apakah tindakan administrasi publik dinilai ”baik” atau “buruk”. Wujud konkret tindakan administrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi publik (maladministration) adalah melakukan tindakan korupsi, kulusi, nepotisme, dan sejenisnya.

Thoha (1997:110) menegaskan bahwa upaya untuk menemukan pemerintahan  yang bersih dan berwibawa sangat bergantung kepada hal-hal berikut ini.
1.      Pelaku-pelaku dari pemerintahan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya aparaturnya.
2.      Kelembangan yang digunakan oleh pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya.
3.      Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintahan itu harus diberlakukan.
4.      Kepemimpinan dalam bioraksi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary), demokratis, dan responsif.

1.      Sumber Daya Manusia
Supaya mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam pemerintahan, setiap pengangkatan aparatur negara, termasuk penempatan, dan pengangkatan dalam jabatan harus memenuhi beberapa kriteria pokok sebagai berikut.
a.       Bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan keberhasilan akidah, keberhasilan akhlak , kebersihan tujuan hidup, bersih harta, dan bersih pergaulan sosial.
b.      Berpengatahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya (the right man on the right place).
c.       Menata jumlah dan stuktur, serta kepegawaian publik yang sesuai dengan kebutuhan dan memberi peluang setiap pegawai publik untuk dapat mengaktualisasi (self actualisation) potensi yang dimilikinya sehingga mereka akan dapat mencapai karier yang berkelanjutan (sustainable carier).
d.      Penyelenggaraan pendidikan dan latihan (diklat), betul-betul diarahkan pada peciptaan akhlak dan profesionalisme pegawai, serta bukan semata-mata media legitimasi mendapatkan jabatan pada jenjang tertentu. Sebab, jika hal ini terjadi, maka akan menyuburkan praktik “maladministration” berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kriteria pokok dalam pengangkatan aparatur negara tersebut di atas, menjadi penting adanya untuk menjadi perhatian mengigat perkembngan masyarakat kita yang sangat dinamis, diikuti dengan tingkat kehidupan yang dialami oleh masyarakat. Merujuk dari situ, besar harapannya aparatur pemeritah, baik pusat maupun daerah harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Berangkat dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadisuka melayani, dari yang suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaburatis dan diologis, dan begitu pun yang sebelumnya menggunakan cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realitas pragmatis. Besar kemungkinan, jika kriteria pokok dalam penentuan sumber daya apartaur atau SDM dalam pemerintahan itu benar-benar konsisten diwujudkan, maka perwujudan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bukam tidak mungkin negeri ini akan bisa menuju clean and god governance.
2.      Kelembangan Pemerintah
Osborn dan Ted Gaebler (1992) mengigatkan bahwa dalam menghadapi abad ke-21, corak pemerintahan masa depan adalah tidak bersifat mendayung (rowing) sehingga jenis pekerjaan yang ada di masyarakat ini ditangani oleh pemerintah. Akan tetapi, peran pemerintah bersifat “steering” terbatas hanya untuk mengendalikan atau mengatur saja. Corak pemerintahan demikian ini, menempatkan posisi masyarakat lebih berdaya. Dengan demikian, perlu ada perampingan birokrasi.
Pemberdayaan kelembangan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak lain adalah berupaya untuk membuat mekanisme kerja dan pelayanan. Adapun, orintasi kerja dan pelayangan terutama lebih langsung difokuskan pada rakyat. Maka dari itu, harus diupayakan sesederhana mungkin prosedurnya dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah. Dengan demikian, masyarakat sebagai “target groups” akan mendapatkan kepuasan sehingga mau melakukan apa yang menjadi kewajiban mereka. Untuk dapat melakukan hal ini maka perlu “reformasi kelembangan dan administrasi” dalam pemberian layanannkepada publik.
3.      Perimbangan Kekuasaan
Perimbangan kekuasaan lebih banyak mengarah pada terjadinya “check and balance” diantara pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Perimbangan kekuasan yang diharapkan lebih mengarah pada check and balance ini ideal penerapannya tidak saja pada tubuh bioraksi, tetapi juga antara pemerintah (bioraksi) dengan masyarakat. Perimbangan kekuasaan yang juga penting adalah perimbangan kekuasaan antara pemerintah (daerah) sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat (daerah) sehingga akan terjadi “check and balance”

Perimbangan kekuasaan juga mengarah pada perimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (sentralisasi dengan desentralisasi). Perimbangan kekuasan penting adanya, mengingat makna mendasar pemerintah adalah pelayanan masyarakat, maka pemberian otonomi (otonomi politik maupun administrasi) yang luas dan bertanggung jawab harus diletakkan pada pemerintah yang dekat dengan rakyat. Jadi, aparatur negara dapat memberikan pelayanan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan, masalah, dan aspirasi rakyat yang dilayaninya. Mengingat hal itulah, perimbangan kekuasaan penting untuk dihadirkan demi menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
4.      Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan dalam mewujudkan “good governance” idealnya adalah kepemimpinan yang bersih, berwawasan, demokratis, responsif, dan bertanggung jawab. Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cact moral (Thoha, 1997:112).Lebih jelasnya, berikut ini beberapa syarat kepemimpinan yang dibutuhkan dalam mewujudkan good governance.
Pertama, pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta, dan pergaulan sosial. Ini adalah syarat yang pertama dan utama untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah.Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Menurut Thoha (1997:112), visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkaun ke depan yang berskala nasional maupun global. Visi merupakan syarat yang harus dimiliki oleh alon pemimpin birokrasi pemerintah. Jika ada seorang pemimpin ditanya “apa program kerja saudara ?”, dan menjawab “saya baru diangkat belum mempelajarinya serta belum tau program kerjanya”, maka pemimpin yang demikian adalh tipe pemimpin yang belum memiliki visi ke depan (visioner).
Kedua, demokrasi dan reponsif, merupakan persyaratan berikutnya untuk mengangkat pemimpin dalam bioraksi pemerintah. Pemimpin yang demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, senantiasa melihatkan publik dan keputusan yang dihasilkan subtansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Sementara itu, pemimpin yang reponsif adalah pemimpin yang cepat tanggap (respons) dan cepat menanggapi  (menindak lanjuti) keluhan, masalah, kepentingan, dan aspirasi yang pimpinnya. Sedangkan pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang memiliki “sense of responsibility and professionally”.
Pemimpin  yang bertanggung jawab memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Pemimpin yang senantiasa melaksanakan tugas tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh, dan tidak “asal-asalan” dalam bekerja, baik ketika mereka ditempatkan pada tempat yang “basah” atau kering “kering”, dan tidak akan melakukan tindakan korupsi kendatipun ada peluang untuk melakukannya. Pemimpin yang profesional adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan (capable to do) apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Persyaratan seorang pemimpin diatas tentunya akan dapat melaksanakan, memenuhi, dan wewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance). Semua itu penting adanya karena dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) menghendaki adanya akuntabilitas, transpiransi, keterbukaan, dan rule of law. Sementara itu, pemerintah yang bersih menuntut terbebaskannya praktik yang meyimpang (maladministration) dari etika administrasi negara. Sedangkan pemerintah yang berwibawa menuntut adanya ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan (compliance) rakyat terhadap undang-undang, pemerintah, dan kebijakan pemerintah.
C.    MENUJU CLEAN AND GOOD GOVERNANCE
Karateristik clean and good governance di atas, dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai pelaku good governance. Pembangunan kualitas manusia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan people centered development paradigm. Artinya, dengan pendekatan manusia yang berkualitas dimungkinkan akan mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Perwujudan pokok pikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama, pembangunan oleh dan untuk masyarakat. Manajemen pembagunan ini memandang sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat. Peranan pemerintah adalah menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, sesuai dengan prioritas yang mereka tentukan. Pokok pikiran ini sama dengan hakikat dari demokrasi, yaitu pemerintah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sementara itu, pokok pikiran yang memberikan kesempatan untuk masyarakat untuk memobilisasi sumber daya lokal untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi merupakan pencerminan dari konsep desentralisasi, yakni memberi kewenangan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan dalam kerangka memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang mereka hadapi. Nilai-nilai ini dapat memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kapasitas mereka sehingga mereka dapat menentukan masa depannya sendiri.
Kedua, pengedepanan aktivitas berbagai sumber daya terutama informasi dengan masyarakat. Langkah ini merupakan pengejawatahan dari prinsip pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (transparency), dan keterbukaan (openness). Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara mempersempit jarak sumber daya biroraksi dengan masyarakat, dengan cara membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (publik examination) terhadap lembaganya.
Ketiga, lembaga legislasif perlu berbagai informasi dengan masyarakat atas apa yang , mereka ketahui mengenai sumber daya pontesial yang diperlukan birokrat kepada masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pinpinan politik, informasi, dan kerja sama adalah sesuatu yang bernilai bagi birokrat. Semua sumber daya tersebut dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap bioraksi. Hubungan dekat dengan elite politik dapat mempengaruhi lembaganya dengan menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran, yurridikasi, atau barang yang diinginkan birokrat. Oleh karena itu, masyarakat bisa lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan pemerintahannya sendiri.
Keempat, birokrat harus menjalanin kerja sama dengan rakyat, yaitu dengan membuat program-programnya sesaui dengan apa yang diinginkan oleh mereka tidak diharapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi biokrat, dan informasi ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun, strategi dengan memecah monopoli biokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektifitas sumber daya. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang sebelumnya apatis dengan menginformasikan akibat, hasil, dan konsekuensi dari tindakan birokrasi dan dapat digunakan pula sebagai sumber daya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Kelima, birokrasi mebuka dialong dengan masyarakat. Dengan dilakukannya dialong ini akan memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau penjabat yang dipilih (elected offecial) dan dengan cara ini mempermudah melakukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi dua macam cara, yaitu kontrol berasal dari pekerjaan dari lembaga kontrol itu sendiri da dengan membuat arena untuk berinteraksi sehingga mekanisme kontrol memberikan kesempatan untuk memengaruhi secara informal (informal influence) yang bisa mengarah ke rencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai pengejawatahan dari nilai people centered devepment paradigm, yakni proses belajar soaial (sosial learning prcess). Yang dimaksud dengan proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem solving) yang sering kali dilakukan melalui trial and eror.
Keenam, nilai manajemen strategis (strategic management) berupaya untuk melakukan mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan dengan lingkungannya, menanggapi tuntunan, menguasai, dan memprogamkan perilaku manusia. Selain itu, berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, sebagai aplikasi dari akuntabilitas terutama keresponsifan. Nilai manajemen dan anggota organisasi agar mereka mampu mengaktualisasikan pontensinya.
Bedasarkan gambaran di atas, kiranya tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa desentralisasi, demokrasi, dan people centered development paradigm dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Konsep good and governance yang telah dijelaskan tersebut berlaku untuk semua jenjang pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mau tidak mau, mampu ataupun tidak mampu, dalam menyelenggaraan otonomi daerah, dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip good and governance karena prinsip tersebut telah menjadi pradigma baru didalam menyelenggarakan kepemerintahan yang digunakan secara universal.
Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahan tanpa memandang siapa serta  mengapa hal tersebut harus dilakukan. Pada sisi lain, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan good and clear governance kepada konsep tersebut menjadi salah satu ukuran keberhasialan birokrasi pemerintahan. Dengan mengetahui tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, semoga Indonesia terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumberyang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan oleh kerena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.











DAFTAR PUSTAKA

Rochman, Ganie.2000.Good Governance, Prinsip, Komponen, dan penerapannya dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan Negara yang Baik). Jakarta: Komnas HAM.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000.Akuntabilitas dab Good Governance. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Hatry, Hatry. 1997. Performance Measurement. Washington D. C: The Urban Institute Press.
Thoha, Miftah. 1997. Pembinaan Organisasi (Proses Diagnosa dan Intervensi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ostorne, David dan Tea Gaebler. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneur Spirit is Transforming The Public Service. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
UNDP. 1997. Governance For Suitable Development –A  Policy Document. New York: UNDP.
Karhi, Nisjar S. 1997. Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol .1. No.2. Jakarta: Himpunan Sarjana Administrasi Indonesia.
Rahayu, Ani Sari. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Jakarta: PT Bumi Aksara.