BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Good governance sering digunakan sebagai standar sistem goodlocal.
Good and clear governance di katakan baik unutuk mangamati proyek demokrasi
dalam suatu negara. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggung jawabkan
kepada publik apa yaneka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik.
Seorang Presiden Gubernur, Bupati, Wali, Kota, anggota DPR, MPR, dan penjabat
pilitik lainnya harus menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijakan X,
bukan kebijakan Y, mengapa memilih menaikan pajak ketimbang melakukan efesiensi
dalam pemerintahan dan melakukan
pemberantasan korupsi sekali sekali lagi apa yang dilakukan oleh penjabat
publik harus terbukadan tidak ada yang ditutup unutuk pertanyakan oleh publik.
Tidak hanya itu apa yang dilakukan oleh keluarganya, sanak saudara
dan bahkan teman dekatnya sendiri sering di kaitkan dan di letakkan pada posisi
penjabat publik, mengapa demikian? Alasan sebenarnya sederhana saja, karena
penjabat tersebut mendapat amanah dari masyarakat maka dia harus dapat menegang
amanah tersebut. Konsep Good Governance pertama kali di perkenalkan oleh UNDIP,
sebab menculnya konsep ini di sebabkan oleh tidak terjadinya aakuntabilitas,
transparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di beri batuan dan
tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehingga negara maju enggan
memberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karenabelum terciptanya sistem
bioraksi yang efektif, efesiesien dan tidak hanya transparansi, akuntabilitas
bantuan dana dari negara maju.
Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang dilakukan oleh dunia
ketiga ketika bantuan diturunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang
lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi
publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang
sebgai suatu aspek dalam paradigma baru ini menekankan pada peran manajer
publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong
dan meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan
kontrol yang dilakukan oleh pemerintahah pusat, taanparansi, akuntabilitas
publik dan diciptakan pengelolahan manajerial yang bersih an bebas dari korpsi.
Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang
akhir-akhir ini di pergunakan secara reguler di dalam ilmu politik dan
administrasi negara. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia
dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah
konsep tata pemerintahan yang diharapkan
dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu
Good governance. Governance berbeda dengan goverment yang artinya pemerintahan.
Karena governmaent hanyalah satu bagian dari governance. Bila
pemerintahan adalah sebuah infrastuktursebuah infrastuktur, maka governance
juga berbicara tentang suprastukturnya. Perbedaan paling pokok antara
“goverment” dan “governance” terletak pada bagaimna cara penyelnggaraan
otoritas politik, ekonomi, dan administrasi dalam pengelolahan urusan suatu
bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintahan ynag lebih
dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Good Governance?
2. Bagaimana Clean Governance?
3. Bagaimana Menuju Clean and Good
Governance?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Good Governance
2. Untuk Mengetahui Clean Governance
3. Untuk Mengetahui Menuju Clean and Good
Governance
BAB II
PEMBAHASAN
A.
GOOD GOVERNANCE
Konsep governance dalam good and clean governance banyak
masyarakat meracukan dengan konsep government.Konsep governance
lebih inklusif dari pada government. Konsep government menunjuk
pada suatu organisasi pengelolahan bedasarkan kewenangan tertinggi (negara dan
pemerintahah). Konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan
negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga
pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie Rochman, 2000: 141).
Good dalam good
governance menurut lembaga Administrasi Negara (2000:6) mengandung dua
pengertian.Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak
rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam
pecapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
berkeadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang
efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Bedasarkan pengertian tersebut, LAN kemudian mengemukakan bahwa
good governance berorietasi pada 2 (dua) hal, yaitu orientasi ideal negara yang
diarahkan pada pecapaian tujuan nasional dan pemerintahan yang berfungsi secara
ideal, yaitu secara efektif dan efesien dalam melakukan upaya mencapai tujuan
nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan
bernegara dengan elemen-elemen kostituennya, seperti legitimacy (apakah
pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountabilitas
(akuntabilitas), securing of human ringh, autonomy and devolution of power,
dan assurance of civilian control.
Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana pemerintahan
mempunyai kompentensi dan stuktur, serta mekanisme poloitik dan administrasi
berfungsi secara efektif. Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan wujud good
governance menurut LAN (2008:8) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara
yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga
“kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara,
sektor swasta dan masyarakat (society). Workshop yang diselenggarakan
oleh UNDIP menyimpulkan “that good governance system are participatory,
impliying that all members of governance institutien have a voice in
influencing decision-making”(UNDIP, 1997:19).Sistem pemerintahan yang baik
adalah partisipasi, yang menyatakan bahwa semua anggota institusi governance
memiliki suara dalam memengaruhi pembuatan keputusan.Hal ini merupakan fondasi
legitimasi dalam sistem demokrasi. Prosedur dan metode pembuatan keputusan
harus transparan agar memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Siapa saja
yang dipilih untuk membuat keputusan dalam pemerintah, organisasi masyarakat
sipil (business and civil society organizayions) harus bertanggung jawab
kepada publik, serta kepada institusi “stskeholders”. Institusi
governance harus efesien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya,
responsif terhadap kebutuhan rakyat, memfasilitasi (fasilitative) dan
memberi peluang (enabling) ketimbang mengkontrol (controling),
melaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan (the rule of law).
a.
Karateristik
Good Governance
Bertumpu pada
pengertian good governance di atas, United Nasional Development Proramme
sebagaimana yang dikutip lah Lembaga Administrasi Negara (2000:7) mengajukan
karateristik good governance sebagai berikut.
a.
Patricipation.Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan,
baik langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibagun atas dasar kebebasan
berasosiasi serta berpartisipasi secara kontruktif.
b.
Rule
of law. Kerangka hukum adil dan dilaksankan tanpa pandang bulu, terutama
hukum untuk hak asasi manusia.
c.
Transparency. Transparansi dibagun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi secra langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
d.
Responsiveness.lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani
setiap”stakelholders”.
e.
Consensus
orientation.Good
governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh
pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal
kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
f.
Eguity. Semua warga negar, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahterahan mereka.
g.
Effectiveness
and effeciency. Proses-proses
dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang
digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
h.
Accuntability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan
lembaga-lembaga “stakeholders”.
i.
Strategc
vision. Para pemimpin
dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangun
manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan semacam ini.
b.
Unsur-unsur
Utama Good Governance
Merujuk dari karakter-karakter good governance tersebut diatas,
Ganie-Rochman (2000:151) mengemukakan bahwa good governance terdapat empat
unsur utama, yaitu accountabilitiy, adanya kerangka hukum (rule of
law), informmasi, dan transparansi. Bhatta (1997:119) juga menyebutkan
empat unsur governance, yaitu akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency), keterbukaan (opennes), dan aturan
hukum (rule of law).
a.
Akuntabilitas
(accountability)
Akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang
diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk
tujuan di mana dana publik tadi telah digunakan secara tepat sesuai tujuan.
Artinya, dan publik tadi benar-benar ditetapkan dan tidak digunakan secara
ilegal (Hatry, 1996:164). Seiring dengan perkembangannya, akuntabilitas juga
digunakan bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efesiensi ekonomi
program. Usaha-usaha tadi berusaha berusaha untuk mencari dan menemukan
apakah ada penyimpangan staf atau
ketidakefesiensian atau ada prosedur yang tidak diperlukan.
Chaldler dan Plano (1992:107) mengartikan akuntabilitas (accountability)
sebagai “refers to the institution of checks and balances in an
administrative system”. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “checks
and balance” dalam sistem administrasi. Akuntabilitas berarti
menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau
kewenangan yang digunakan. The Oxford
Advance Leaner s’ Distionary sebagaimna dikutip oleh Lembaga Administrasi
Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (2000:21), mengartikan
akuntabilitas sebagai “required or excpected to give an explanation for one
s’ action”.Akuntabilitas diperlukan atau diharapkan untuk memberikan
penjelasan atas apa yang diharapkan
untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan. Jadi,
akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban,
menjawab, atau menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan
suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan unyuk meminta
keterangan atau pertanggung jawaban.
Bedasarkan uraian tadi, akuntabilitas dapat disimpulkan pula
sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggung jawabkan
pengelolahan dan pengendalian sumber daya, serta pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pecapaian tujuan yang telah ditetapkan
melaui media pertanggung jawaban secra periodik.
b.
Transparansi
(transparency)
Transparansi (transparency) lebih mengarah pada kejelasan
mekanisme formulasi dan implementasi kebijakan, program, dan proyek yang dibuat
dan dilaksankan pemerintahan.Pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang
bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di Tingkat Pusat maupun di Tingkat
Daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi
tentang proses perumusankebijaksanaan publik dan implementasinya.Idealnya, segala kebijakan dan implementasi kebijakan
baik di pusat maupun di daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan
diketahui umum.
c.
Keterbukaan
(opnness)
Keterbukaan (oponness) mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi
rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemeritahan yang di
nilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang bersifat
terbuka dan transparan dalam memberikan data dan informasi yang memadai bagi
masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilian atas jalannya pemerintahan.
Fakta yang terjadi selama ini justru sering ditemukan bahwa
prosedur “”tender” kompotitif suatu proyek pembangunan hingga penetapan
keputusan pemenangnya masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau bahkan para
pelaku tender dengan pemerintah sering tidak memperoleh penjelasan informasi
tentang hasil atau kriteria penetapan pemenang tender proyek yang bersangkutan.
d.
Kerangka
Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of law diartikan, “good governance”
mempunyai karateristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan peraturan perundangan harus selalu
dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan bedasarkan prosedur baku yang telah
melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta publik memiliki kesempatan
untuk mengevaluasinya.
Pemerintahan yang baik dalam prinsip rurle of law dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang mampu mempertanggung jawabkan segala sikap,
perilaku, dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan
diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik
untuk melakukan pengawasan (kontrol). Begitupun, jika dalam praktiknya telah
nerugikan kepentingan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggung
jawabkan dan menerima tuntutan hukun atas tindakan tersebut. Dengan demikian,
jelaslah bahwa untuk menerapkan prinsip-prinsip “good governance”,
pemerintah harus memiliki perilaku bertanggung jawab (accountable),
sekaligus meciprtakan mekanisme akuntabilitas maupun struktur kelembapan bagi
berkembangannya partisipasi masyarakat (Nisjar, 1997:124).
B.
CLEAN
GOVERNANCE
Pemerintah yang bersih (clean governance) terkait dengan
akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung
jawabnya. Aktor dalam pemerintahan yang bersih dalam menjalankan tugas, funsi,
dan wewenang yang diberikan kepadanya tidak melakukan tindakan yang menyimpang
dari etika administrasi publik (maladministration). Jelasnya,
maladministration merupakan suatu tindakan administrasi publik yang
menyimpang dari nilai-nilai administrasi publik.
Etika administrasi publik merupakan seperangkat nilai yang dapat
digunakan sebagai acuan dan referensi bagi administrasi publik dalam
menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan yang diberikan kepadanya, dan
sekaligus dapat digunakan sebgai standar penilian unutuk menilai apakah
tindakan administrasi publik dinilai ”baik” atau “buruk”. Wujud konkret
tindakan administrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi publik (maladministration)
adalah melakukan tindakan korupsi, kulusi, nepotisme, dan sejenisnya.
Thoha (1997:110) menegaskan bahwa upaya untuk menemukan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa
sangat bergantung kepada hal-hal berikut ini.
1.
Pelaku-pelaku
dari pemerintahan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
aparaturnya.
2.
Kelembangan
yang digunakan oleh pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan
kinerjanya.
3.
Perimbangan
kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintahan itu harus
diberlakukan.
4.
Kepemimpinan
dalam bioraksi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary),
demokratis, dan responsif.
1.
Sumber
Daya Manusia
Supaya mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam
pemerintahan, setiap pengangkatan aparatur negara, termasuk penempatan, dan
pengangkatan dalam jabatan harus memenuhi beberapa kriteria pokok sebagai
berikut.
a.
Bermoral
dan berakhlak yang ditandai dengan keberhasilan akidah, keberhasilan akhlak ,
kebersihan tujuan hidup, bersih harta, dan bersih pergaulan sosial.
b.
Berpengatahuan
dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya (the
right man on the right place).
c.
Menata
jumlah dan stuktur, serta kepegawaian publik yang sesuai dengan kebutuhan dan
memberi peluang setiap pegawai publik untuk dapat mengaktualisasi (self
actualisation) potensi yang dimilikinya sehingga mereka akan dapat mencapai
karier yang berkelanjutan (sustainable carier).
d.
Penyelenggaraan
pendidikan dan latihan (diklat), betul-betul diarahkan pada peciptaan akhlak
dan profesionalisme pegawai, serta bukan semata-mata media legitimasi
mendapatkan jabatan pada jenjang tertentu. Sebab, jika hal ini terjadi, maka
akan menyuburkan praktik “maladministration” berupa korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Kriteria pokok dalam pengangkatan aparatur negara tersebut di atas,
menjadi penting adanya untuk menjadi perhatian mengigat perkembngan masyarakat
kita yang sangat dinamis, diikuti dengan tingkat kehidupan yang dialami oleh
masyarakat. Merujuk dari situ, besar harapannya aparatur pemeritah, baik pusat
maupun daerah harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan layanan publik. Berangkat dari yang suka mengatur dan memerintah
berubah menjadisuka melayani, dari yang suka menolong menuju ke arah yang
fleksibel kolaburatis dan diologis, dan begitu pun yang sebelumnya menggunakan
cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realitas pragmatis. Besar
kemungkinan, jika kriteria pokok dalam penentuan sumber daya apartaur atau SDM
dalam pemerintahan itu benar-benar konsisten diwujudkan, maka perwujudan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa bukam tidak mungkin negeri ini akan bisa
menuju clean and god governance.
2.
Kelembangan
Pemerintah
Osborn dan Ted Gaebler (1992) mengigatkan bahwa dalam menghadapi
abad ke-21, corak pemerintahan masa depan adalah tidak bersifat mendayung (rowing)
sehingga jenis pekerjaan yang ada di masyarakat ini ditangani oleh pemerintah.
Akan tetapi, peran pemerintah bersifat “steering” terbatas hanya untuk
mengendalikan atau mengatur saja. Corak pemerintahan demikian ini, menempatkan
posisi masyarakat lebih berdaya. Dengan demikian, perlu ada perampingan
birokrasi.
Pemberdayaan kelembangan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak
lain adalah berupaya untuk membuat mekanisme kerja dan pelayanan. Adapun,
orintasi kerja dan pelayangan terutama lebih langsung difokuskan pada rakyat.
Maka dari itu, harus diupayakan sesederhana mungkin prosedurnya dengan waktu
yang cepat dan biaya yang murah. Dengan demikian, masyarakat sebagai “target
groups” akan mendapatkan kepuasan sehingga mau melakukan apa yang menjadi
kewajiban mereka. Untuk dapat melakukan hal ini maka perlu “reformasi
kelembangan dan administrasi” dalam pemberian layanannkepada publik.
3.
Perimbangan
Kekuasaan
Perimbangan kekuasaan lebih banyak mengarah pada terjadinya “check
and balance” diantara pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Perimbangan kekuasan yang diharapkan
lebih mengarah pada check and balance ini ideal penerapannya tidak saja pada
tubuh bioraksi, tetapi juga antara pemerintah (bioraksi) dengan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan yang juga penting adalah perimbangan kekuasaan antara
pemerintah (daerah) sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat
(daerah) sehingga akan terjadi “check and balance”
Perimbangan kekuasaan juga mengarah pada perimbangan kekuasaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (sentralisasi dengan
desentralisasi). Perimbangan kekuasan penting adanya, mengingat makna mendasar
pemerintah adalah pelayanan masyarakat, maka pemberian otonomi (otonomi politik
maupun administrasi) yang luas dan bertanggung jawab harus diletakkan pada
pemerintah yang dekat dengan rakyat. Jadi, aparatur negara dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan, masalah, dan aspirasi
rakyat yang dilayaninya. Mengingat hal itulah, perimbangan kekuasaan penting
untuk dihadirkan demi menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
4.
Kepemimpinan
Visioner
Kepemimpinan dalam mewujudkan “good governance” idealnya adalah
kepemimpinan yang bersih, berwawasan, demokratis, responsif, dan bertanggung
jawab. Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan pemerintahan yang baik adalah
kepemimpinan yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cact moral
(Thoha, 1997:112).Lebih jelasnya, berikut ini beberapa syarat kepemimpinan yang
dibutuhkan dalam mewujudkan good governance.
Pertama, pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan
kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta, dan pergaulan sosial. Ini
adalah syarat yang pertama dan utama untuk memilih dan mengangkat pemimpin
dalam birokrasi pemerintah.Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa
ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Menurut Thoha (1997:112), visi mencakup upaya yang mampu melihat
jangkaun ke depan yang berskala nasional maupun global. Visi merupakan syarat
yang harus dimiliki oleh alon pemimpin birokrasi pemerintah. Jika ada seorang
pemimpin ditanya “apa program kerja saudara ?”, dan menjawab “saya baru
diangkat belum mempelajarinya serta belum tau program kerjanya”, maka pemimpin
yang demikian adalh tipe pemimpin yang belum memiliki visi ke depan (visioner).
Kedua, demokrasi dan reponsif, merupakan persyaratan berikutnya
untuk mengangkat pemimpin dalam bioraksi pemerintah. Pemimpin yang demokratis
dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, senantiasa
melihatkan publik dan keputusan yang dihasilkan subtansinya harus berpihak pada
kepentingan publik. Sementara itu, pemimpin yang reponsif adalah pemimpin yang
cepat tanggap (respons) dan cepat menanggapi
(menindak lanjuti) keluhan, masalah, kepentingan, dan aspirasi yang
pimpinnya. Sedangkan pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang
memiliki “sense of responsibility and professionally”.
Pemimpin yang bertanggung
jawab memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya. Pemimpin yang senantiasa melaksanakan tugas tanggung jawabnya secara
sungguh-sungguh, dan tidak “asal-asalan” dalam bekerja, baik ketika mereka
ditempatkan pada tempat yang “basah” atau kering “kering”, dan tidak akan
melakukan tindakan korupsi kendatipun ada peluang untuk melakukannya. Pemimpin
yang profesional adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan (capable
to do) apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Persyaratan seorang pemimpin diatas tentunya akan dapat
melaksanakan, memenuhi, dan wewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang baik,
bersih, dan berwibawa (clean and good governance). Semua itu penting
adanya karena dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good
governance) menghendaki adanya akuntabilitas, transpiransi, keterbukaan,
dan rule of law. Sementara itu, pemerintah yang bersih menuntut terbebaskannya
praktik yang meyimpang (maladministration) dari etika administrasi
negara. Sedangkan pemerintah yang berwibawa menuntut adanya ketundukan,
ketaatan, dan kepatuhan (compliance) rakyat terhadap undang-undang,
pemerintah, dan kebijakan pemerintah.
C.
MENUJU
CLEAN AND GOOD GOVERNANCE
Karateristik clean and good governance di atas, dapat
diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas manusia sebagai pelaku good
governance. Pembangunan kualitas manusia dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan people centered development paradigm. Artinya, dengan
pendekatan manusia yang berkualitas dimungkinkan akan mampu mewujudkan kepemerintahan
yang baik (good governance). Perwujudan pokok pikiran tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.
Pertama,
pembangunan oleh dan untuk masyarakat. Manajemen pembagunan ini memandang
sebagai produk dari prakarsa dan kreativitas masyarakat. Peranan pemerintah
adalah menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk
memobilisasi sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, sesuai dengan prioritas yang
mereka tentukan. Pokok pikiran ini sama dengan hakikat dari demokrasi, yaitu
pemerintah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sementara itu, pokok pikiran yang
memberikan kesempatan untuk masyarakat untuk memobilisasi sumber daya lokal
untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi merupakan pencerminan dari konsep
desentralisasi, yakni memberi kewenangan dan tanggung jawab untuk membuat
keputusan dalam kerangka memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang mereka
hadapi. Nilai-nilai ini dapat memberdayakan masyarakat dan meningkatkan
kapasitas mereka sehingga mereka dapat menentukan masa depannya sendiri.
Kedua, pengedepanan
aktivitas berbagai sumber daya terutama informasi dengan masyarakat. Langkah
ini merupakan pengejawatahan dari prinsip pemerintahan yang bersih, baik, dan
berwibawa, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi (transparency), dan
keterbukaan (openness). Mekanisme pemberdayaan ini dirancang dengan cara
mempersempit jarak sumber daya biroraksi dengan masyarakat, dengan cara membuka
kesempatan masyarakat untuk melakukan pengamatan publik (publik examination)
terhadap lembaganya.
Ketiga, lembaga
legislasif perlu berbagai informasi dengan masyarakat atas apa yang , mereka
ketahui mengenai sumber daya pontesial yang diperlukan birokrat kepada
masyarakat, seperti keuangan, akses dengan pinpinan politik, informasi, dan
kerja sama adalah sesuatu yang bernilai bagi birokrat. Semua sumber daya tersebut
dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap bioraksi.
Hubungan dekat dengan elite politik dapat mempengaruhi lembaganya dengan
menggunakan hubungan (connections) untuk mendapatkan anggaran,
yurridikasi, atau barang yang diinginkan birokrat. Oleh karena itu, masyarakat
bisa lebih berdaya dalam melakukan kontrol dan menentukan masa depan
pemerintahannya sendiri.
Keempat,
birokrat harus menjalanin kerja sama dengan rakyat, yaitu dengan membuat
program-programnya sesaui dengan apa yang diinginkan oleh mereka tidak
diharapkan pada berbagai macam tekanan. Rakyat dapat melaporkan atas aktivitas
yang dilakukan oleh birokrat. Informasi ini penting bagi biokrat, dan informasi
ini dapat diolah sebagai ukuran kontrol. Bagaimanapun, strategi dengan memecah
monopoli biokrasi mengenai informasi bisa jadi memperbesar efektifitas sumber
daya. Informasi tentang aktivitas birokrasi dapat memobilisasi rakyat yang
sebelumnya apatis dengan menginformasikan akibat, hasil, dan konsekuensi dari
tindakan birokrasi dan dapat digunakan pula sebagai sumber daya dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Kelima, birokrasi
mebuka dialong dengan masyarakat. Dengan dilakukannya dialong ini akan
memperkuat interaksi yang lebih besar antara birokrat dengan rakyat atau
penjabat yang dipilih (elected offecial) dan dengan cara ini mempermudah
melakukan kontrol. Mekanisme kontrol ini dibedakan menjadi dua macam cara,
yaitu kontrol berasal dari pekerjaan dari lembaga kontrol itu sendiri da dengan
membuat arena untuk berinteraksi sehingga mekanisme kontrol memberikan
kesempatan untuk memengaruhi secara informal (informal influence) yang
bisa mengarah ke rencana formal. Arena pertukaran sumber daya ini sebagai
pengejawatahan dari nilai people centered devepment paradigm, yakni
proses belajar soaial (sosial learning prcess). Yang dimaksud dengan
proses belajar sosial adalah proses interaksi sosial antara anggota-anggota
masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan mereka melalui kegiatan-kegiatan pemecahan masalah (problem
solving) yang sering kali dilakukan melalui trial and eror.
Keenam, nilai manajemen strategis (strategic management)
berupaya untuk melakukan mengembangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan
dengan lingkungannya, menanggapi tuntunan, menguasai, dan memprogamkan perilaku
manusia. Selain itu, berusaha untuk mengembangkan prakarsa kreatif mereka untuk
dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi, sebagai aplikasi dari
akuntabilitas terutama keresponsifan. Nilai manajemen dan anggota organisasi
agar mereka mampu mengaktualisasikan pontensinya.
Bedasarkan gambaran di atas, kiranya tidak berlebihan jika
disimpulkan bahwa desentralisasi, demokrasi, dan people centered development
paradigm dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Konsep good and governance yang telah dijelaskan tersebut berlaku
untuk semua jenjang pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Mau tidak mau, mampu ataupun tidak mampu, dalam menyelenggaraan otonomi
daerah, dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip good and governance karena
prinsip tersebut telah menjadi pradigma baru didalam menyelenggarakan
kepemerintahan yang digunakan secara universal.
Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau
rancangan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti
dalam menangani suatu permasalahan tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus dilakukan. Pada
sisi lain, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan good and
clear governance kepada konsep tersebut menjadi salah satu ukuran keberhasialan
birokrasi pemerintahan. Dengan mengetahui tata kelola pemerintahan yang baik
dan bersih, semoga Indonesia terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
B.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan
sumber-sumberyang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan oleh
kerena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Rochman, Ganie.2000.Good Governance, Prinsip, Komponen, dan
penerapannya dalam Hak Asasi Manusia (Penyelenggaraan Negara yang Baik).
Jakarta: Komnas HAM.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan. 2000.Akuntabilitas dab Good Governance. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Hatry, Hatry. 1997. Performance Measurement. Washington D. C: The
Urban Institute Press.
Thoha, Miftah. 1997. Pembinaan Organisasi (Proses Diagnosa dan
Intervensi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ostorne, David dan Tea Gaebler. 1992. Reinventing Government: How
The Entrepreneur Spirit is Transforming The Public Service. Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo.
UNDP. 1997. Governance For Suitable Development –A Policy Document. New York: UNDP.
Karhi, Nisjar S. 1997. Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”,
Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol .1. No.2. Jakarta: Himpunan Sarjana
Administrasi Indonesia.
Rahayu, Ani Sari. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKN). Jakarta: PT Bumi Aksara.