Wikipedia

Search results

Persamaan Persepsi Bimbingan dan Konseling dalam program pendidikan dan sekolah


MAKALAH
Bimbingan dan Konseling
Persamaan Persepsi Bimbingan dan Konseling dalam program pendidikan dan sekolah

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling  
yang dibina oleh Pak Bustanol Arifin, M.Pd






Disusun Oleh Kelompok : 8

1.      Muhammad Syailan                         201810430311052
2.      Nanda Sepprillia Deva Wulandari   201810430311055
3.      Lestari Lelaning Putri Basuki          201810430311152








JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH  DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG SEPTEMBER TAHUN 2019





KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Mofrologi Bahasa” dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliahBimbingan dan Konseling, Bustanol Arifin, M.Pd
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan tata Bahasa Indonesia, serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan tata Bahasa Indonesia. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Bimbingan dan Konseling, atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis mengharapkan, melalui membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Persamaan Persepsi Bimbingan dan Konseling dalam program pendidikan dan sekolah khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.


Malang 28 September 2019


Kelompok 8






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
BAB I     PENDAHULUAN
A.    Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah……...

BAB II    PEMBAHASAN
A.    Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah………

BAB III PENUTUP
                3.1. Kesimpulan.................................................................................... 14
                3.2. Saran.............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 15



BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Program bimbingan dan konseling (BK) merupakan bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, upaya guru membimbing maupun berbagai aspek yang terlingkup dalam program merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan yang diarahkan kepada pencapaian tujuan pendidikan di lembaga yang bersangkutan. Bimbingan dan Konseling diposisikan oleh negara sebagai profesi yang terintegrasikan sepenuhnya dalam bidang pendidikan, yaitu dengan menegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa konselor adalah pendidik profesional, sebagaimana juga guru, dosen, dan pendidik lainya.
Dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini sedang ramai-ramainya membicarakan tentang kurikulum 2013. Sosialisasi kurikulum 2013 sedang dilaksanakan disetiap daerah sampai pelosok. Melihat maraknya pembicaraan tentang kurikulum 2013, membuat suatu motivasi bagi konselor untuk mengetahui, bagaimana posisi bimbingan dan konseling dalam kurikulum 2013, dan ternyata hal ini telah ramai juga dibicarakan oleh masyarakat bimbingan dan konseling dalam mebahas fungsi dan peran bimbingan dan konseling dalam impelemntasi kurikulum 2013.
Berkenaan dengan implementasi kurikulum 2013 khusus untuk kegiatan bimbingan dan konseling menegaskan adanya daerah garapan yang disebut peminatan siswa. Bidang peminatan ini menjadi substansi pokok pekerjaan para konselor atau guru bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah. Program Bimbingan dan Konseling diarahkan kepada upaya yang memfasilitasi siswa untuk mengenal dan menerima dirinya sendiri serta lingkungannya secara positif dan dinamis, dan mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab, mengembangkan serta mewujudkan diri secara efektif dan produktif, sesuai dengan peranan yang diinginkan di masa depan, serta menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya.
           



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah
1.      Pengertian Persepsi
Persepsi, menurut Jalaludin (dalam Gultom, 2008:26), adalah “Pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.”
Menurut Ruch (dalam Gultom, 2008:26), persepsi  adalah “Suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dari pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang berstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu.”
Atkinson dan Hilgard (1991:201) mengemukakan bahwa persepsi adalah “Proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Danely (1994:53) menjelaskan bahwa persepsi adalah “Proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.”
Persepsi merupakan “keadaan yang integregated  dari individu yang bersangkutan, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu, akan ikut aktif dalam persepsi individu” (Walgito 1998:54)
Jadi, persepsi adalah suatu proses dimana menafsirkan dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan melalui petunjuk-petunjuk inderawi.
1.      Syarat Terjadinya Perseps.
2.      Adanya objek yang di persepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat dating dari dalam, yang langsung mengenai syarat penerima (sensoris), yang bekerja sebagai reseptor.
1.      Adanya alat indera atau reseptor
Merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf otak sebagai pusat kesadaran, dan sebagai alat untuk respons diperlukan syaraf motoris.
2.      Adanya perhatian
Merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, tanpa perhatian tidak ada persepsi
Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan persepsi ada tiga syarat-syarat yang bersifat:
a.       Fisik atau kealaman
b.      Fisiologis
c.       Psikologis

Dengan demikian dapat dijelaskan terjadinya proses persepsi sebagai berikut :
Objek menimbulkan stimulus, un stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang diterimanya. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesaran dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Walgito, 1988:54)
1)      Ciri-ciri Umum Dunia Persepsi
Penginderaan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut sebagai dunia persepsi. Agar dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, ada ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi tersebut, yaitu :
a.       Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi pendengaran; sifat permukaan bagi peraba).
b.      Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, latar depan-latar belakang).
c.       Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; seperti cepat-lambat, tua-muda.
d.      Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan.
e.       Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang berhubungan dengan tujuan dalam diri kita.
2)      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Walgito, (2001:54) mengemukakan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu:
a.       Internal : apa yang ada dalam diri individu
b.      Eksternal : stimulus itu sendiri dan factor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung.
Persepsi juga dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain suasana hati, pengalaman masa lalu, dorongan yang ada pada diri individu, seperti : ingatan, motivasi, daya tangkap, kecerdasan, dan harapan-harapan (Subaidah,2009: 1).
2.  Keberadaan Konselor di Sekolah
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang admistratif atau pengajarandengan mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya biasa menghasilkan individuyang pintar dan terampil dalam aspek akademik, akan tetapi kurang terampil dalam halmengenal atau mengembangkan potensi yang dimikinya. Oleh karena itu keberadaan pelayanan bimbingan dan konseling sangat pentingdalam kurikulum sekolah, karena bimbingan konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya dan potensi yang dimilikinya, dengan demikian konselor dapat membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, dengan arahan-arahan yang diberikan oleh konselor diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pada pendidikan menengah atas tujuan pendidikan telah terbiasa oleh anggapan umum, demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja.
Untuk membantu siswa dalam menghadapi permasalahnya dan untuk mencapai kompetensi juga keterampilan hidup yang diinginkan itu, peserta didik tidak cukup hanya diberikan pengajaran bidang studi saja, tetapi juga dibutuhkan bimbingan dan koseling. Untuk itu penting sekali rasanya pelayanan konseling termasuk dalam kurikulum sekolah, agar dapat membantu problema yang alami oleh siswa disekolah. Posisi bimbingan dan koseling dalam pelaksanaan kurikulum sangat strtegis, dan sekolah berkewajiban memberikan bimbingan dan koseling kepada peserta didik yang menyangkut ketercapaian kompetensi pribadi, social, belajar, dan karir.
Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan.
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Pembentukan kompetensi akademik konselor ini merupakan proses pendidikan formal jenjang strata satu (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling, yang bermuara pada penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan (S.Pd) bidang Bimbingan dan Konseling. Sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam konteks otentik Pendidikan Profesi Konselor yang berorientasi pada pengalaman dan kemampuan praktik lapangan, dan tamatannya memperoleh sertifikat profesi bimbingan dan konseling dengan gelar profesi Konselor, disingkat Kons.
3.      Asesmen Ulang Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan Konseling
Ø  Kompetensi Akademik Konselor
Dalam layanan ahli bidang lain seperti akutansi, notariat dan layanan medik, kompetensi konselor yang utuh diperoleh melalui program S1 Pendidikan Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds), 1990). Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan professional konsekuensi sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan professional guru. Kompetensi akademik seorang konselor professional terdiri atas kemampuan :
a.       Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani. Sosok kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai inteligensi yang hanya mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerical (matematik) yang lazim dinyatakan sebagai IQ yang mengedepankan kemampuan berfikir analitik, dan juga melebar ke segenap spectrum kemampuan intelektual manusia sebagaimana dipaparkan dalam gagasan intelegensi multiple (Gardner, 1993) selain juga menghormati keberadaan kemampuan berfikir sintetik dan kemampuan berfikir praktikal di samping kemampuan berfikir analitik yang telah dikenal luas selama ini (Sternberg, 2003), motovasi dan keuletannya dalam belajar atau bekerja (perseverance, Marzano, 1992) yang diharapkan akan meneruskan sebagai keuletan dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.I. Sternberg, 2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka berfikir yang mengedepankan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau pemfalitasian (helping prosessions), dalam upayanya mengenal secara mendalam konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyingkapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanan ahlinya.
b.      Menguasai khasanah teoritik dan procedural termasuk teknologi dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoritik dan procedural serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt,Z dan J.Hayslip, 2001) mencakup kemampuan :
a)      Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur dan sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
b)      Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
c.       Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan. Untuk menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus mampu :
a)      Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
b)      Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
c)      Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan penyesuaian – penyesuaian sambil jalan (mid-course adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d.      Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan.
Sebagai pekerja profesioanal yang mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanannya, konselor perlu membiasakan diri menggunakan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka berfikir belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal, sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.

Ø  Kompetensi Profesional Konselor
Pekerjaan konselor didasarkan pada berbagai kompetensi yang tidak diperoleh begitu saja. Melainkan melalui proses pembelajaran secara intensif. Kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan konseling tidak diperoleh sekejap melalui mimpi atau semedi atau bertapa sekian lama. Kompetensi seperti ini dibarengi dengan tuntutan untuk berfikir, secara terus menerus mengikuti dan mengakomodasi perkembangan ilmu dan teknologi. Pemberlakuan kredensialisasi meliputi : program-program sertifiksi, akreditasi dan lisensi merupakan upaya untuk menguji dan memberikan bukti penguasaan dan kewenangan atas kompetensi konselor dalam pelayanannya.
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan (rigorous), yang sistematis dan sungguh – sungguh, yang rentang mulai penugasan terstruktur (self – managed practice)sampai dengan latihan mandiri dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen Pembimbing dan Konselor Pamong (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan professional konselor, maka criteria utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuahan kemampuan calon konselor dalam menggunakan rentetan panjang keputusan-keputusan kecil yang dibingkai kearifan dalam mengkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan.
Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam pertumbuhan penguasaan kiat professional dalam penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh professional konselor sebagai praktisi yang aman buat konseli.
Namun di pihak lain, meskipun tergambarkan dengan sangat indah secara teoritik, juga perlu diakui kelemahan – kelemahan implementasinya selama ini, dan bertolak dari kenyataan itu, perlu diupayakan pengatasannya di masa yang akan datang, sehingga amanat penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan konselor itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ini juga berarti bahwa penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional konselor yang berupa Program Pengalaman Lapangan itu memerlukan perhatian lebih dari yang diberikan di waktu yang lalu. Selain itu, juga sangat diperlukan dukungan dari pihak pengelola sekolah dan arena praktik lapangan lainnya, sebab berbeda dari pendidikan medic yang didukung penuh oleh rumah sakit setempat, pelaksanakan PPL LPTK umumnya kurang mendapat sambutan dari pihak sekolah, meskipun agaknya kesalahan juga terdapat di pihak LPTK.
Dengan kata lain, simbiosis-mutualistis sebagaimana yang terdapat dalam bidang medik itulah yang perlu ditumbuhkan dalam rangka pendidikan professional konselor di tanah air.
Ø  Persepsi Siswa Terhadap Keberadaan Konselor
            Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bermasalah melalui pemdekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sangsinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sangsinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sangsi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sangsi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Masih banyak anggapan bahwa keberadaan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “Barangsiapa di antara siswa-siswi melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk mancari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan.
Dapat dibayangkan bagaimana tanggapan siswa terhadap konselor yang mempunyai wajah seperti tersebut. Adalah wajar siswa menjadi takut dan tidak mau dekat dengan konselor. Konselor di satu pihak dianggap sebagai “keranjang sampah”, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswa yang rusak atau tidak beres, dilain pihak dianggap sebagai “manusia super”, yang harus dapat mengetahui dan dapat mengungkapkan hal-hal yang musyrik yang melatar belakangi suatu kejadian atau masalah.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat lainnya. Padahal, sebaliknya dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Di samping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah kawan pengiring petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan pembina tingkah laku-tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan konseling hendaknya bisa menjadi sitawar-sidingan bagi siapapun yang datang kepadanya. Dengan pandangan, sikap, keterampilan, dan penampilan konselor siswa atau siapapun yang berhubungan dengan konselor akan memperoleh suasana sejuk dan member harapan.
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun,  terutama klien, harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.










DAFTAR PUSTAKA

Prayitno dan Erman Amti. 1994. Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Hikmawati Fenti. 2010. Bimbingan konseling. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan BK UPI.