MAKALAH
Bimbingan
dan Konseling
Persamaan
Persepsi Bimbingan dan Konseling dalam program pendidikan dan sekolah
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan
Konseling
yang dibina oleh Pak
Bustanol Arifin, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok : 8
1.
Muhammad Syailan 201810430311052
2.
Nanda Sepprillia Deva Wulandari 201810430311055
3.
Lestari Lelaning Putri Basuki 201810430311152
JURUSAN PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG SEPTEMBER TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Mofrologi Bahasa” dengan lancar. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu mata kuliahBimbingan dan Konseling, Bustanol Arifin, M.Pd
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang
penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan tata Bahasa Indonesia,
serta informasi dari media massa yang berhubungan dengan tata Bahasa Indonesia.
Tidak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Bimbingan
dan Konseling, atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya
makalah ini.
Penulis
mengharapkan, melalui membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Persamaan Persepsi Bimbingan
dan Konseling dalam program pendidikan dan sekolah khususnya bagi penulis.
Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik
dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Malang 28 September 2019
Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A.
Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah……...
BAB II PEMBAHASAN
A.
Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah………
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................... 14
3.2. Saran.............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Program bimbingan dan konseling (BK)
merupakan bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah.
Oleh karena itu, upaya guru membimbing maupun berbagai aspek yang terlingkup
dalam program merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan
yang diarahkan kepada pencapaian tujuan pendidikan di lembaga yang bersangkutan.
Bimbingan dan Konseling diposisikan oleh negara sebagai profesi yang
terintegrasikan sepenuhnya dalam bidang pendidikan, yaitu dengan menegaskan
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa konselor adalah pendidik
profesional, sebagaimana juga guru, dosen, dan pendidik lainya.
Dunia
pendidikan di Indonesia sekarang ini sedang ramai-ramainya membicarakan tentang
kurikulum 2013. Sosialisasi kurikulum 2013 sedang dilaksanakan disetiap daerah
sampai pelosok. Melihat maraknya pembicaraan tentang kurikulum 2013, membuat
suatu motivasi bagi konselor untuk mengetahui, bagaimana posisi bimbingan dan
konseling dalam kurikulum 2013, dan ternyata hal ini telah ramai juga
dibicarakan oleh masyarakat bimbingan dan konseling dalam mebahas fungsi dan
peran bimbingan dan konseling dalam impelemntasi kurikulum 2013.
Berkenaan dengan implementasi
kurikulum 2013 khusus untuk kegiatan bimbingan dan konseling menegaskan adanya
daerah garapan yang disebut peminatan siswa. Bidang peminatan ini menjadi
substansi pokok pekerjaan para konselor atau guru bimbingan dan konseling di
sekolah-sekolah. Program Bimbingan dan Konseling diarahkan kepada upaya yang
memfasilitasi siswa untuk mengenal dan menerima dirinya sendiri serta
lingkungannya secara positif dan dinamis, dan mampu mengambil keputusan yang
bertanggung jawab, mengembangkan serta mewujudkan diri secara efektif dan
produktif, sesuai dengan peranan yang diinginkan di masa depan, serta
menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi
dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Persepsi Siswa Tentang Keberadaan Konselor Sekolah
1.
Pengertian Persepsi
Persepsi, menurut Jalaludin
(dalam Gultom, 2008:26), adalah “Pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.”
Menurut Ruch (dalam Gultom,
2008:26), persepsi adalah “Suatu proses tentang petunjuk-petunjuk
inderawi (sensory) dari pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan
untuk memberikan kepada kita gambaran yang berstruktur dan bermakna pada suatu
situasi tertentu.”
Atkinson dan Hilgard
(1991:201) mengemukakan bahwa persepsi adalah “Proses dimana kita menafsirkan
dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Danely (1994:53) menjelaskan bahwa persepsi
adalah “Proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.”
Persepsi merupakan “keadaan
yang integregated dari individu yang bersangkutan, maka apa yang ada
dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu, akan ikut aktif dalam
persepsi individu” (Walgito 1998:54)
Jadi, persepsi adalah suatu proses dimana menafsirkan
dan mengorganisasikan pada stimulus dalam lingkungan melalui petunjuk-petunjuk
inderawi.
1.
Syarat Terjadinya Perseps.
2.
Adanya objek yang di persepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dapat
dating dari dalam, yang langsung mengenai syarat penerima (sensoris), yang
bekerja sebagai reseptor.
1. Adanya alat indera
atau reseptor
Merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu harus
ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima
reseptor ke pusat susunan syaraf otak sebagai pusat kesadaran, dan sebagai alat
untuk respons diperlukan syaraf motoris.
2.
Adanya perhatian
Merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan
persepsi, tanpa perhatian tidak ada persepsi
Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan
persepsi ada tiga syarat-syarat yang bersifat:
a.
Fisik atau kealaman
b.
Fisiologis
c.
Psikologis
Dengan demikian dapat dijelaskan terjadinya proses persepsi sebagai
berikut :
Objek menimbulkan stimulus, un stimulus mengenai alat
indera atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimulus
yang diterima oleh alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses
ini dinamakan proses fisiologis. Kemudian terjadilah suatu proses di otak,
sehingga individu dapat menyadari apa yang diterimanya. Proses yang terjadi
dalam otak atau pusat kesaran dari proses persepsi ialah individu menyadari
tentang apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor (Walgito, 1988:54)
1) Ciri-ciri Umum Dunia
Persepsi
Penginderaan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks
ini disebut sebagai dunia persepsi. Agar dihasilkan suatu penginderaan yang
bermakna, ada ciri-ciri umum tertentu dalam dunia persepsi tersebut, yaitu :
a.
Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas
tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya
untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; bunyi bagi
pendengaran; sifat permukaan bagi peraba).
b.
Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita
dapat mengatakan atas-bawah, tinggi-rendah, luas-sempit, latar depan-latar
belakang).
c.
Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu; seperti cepat-lambat,
tua-muda.
d.
Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan
mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini
merupakan keseluruhan.
e.
Dunia persepsi adalah dunia penuh arti. Kita cenderung
melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi
kita, yang berhubungan dengan tujuan dalam diri kita.
2) Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Persepsi
Walgito, (2001:54) mengemukakan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh
2 faktor utama yaitu:
a.
Internal : apa yang ada dalam diri individu
b.
Eksternal : stimulus itu sendiri dan factor lingkungan
dimana persepsi itu berlangsung.
Persepsi juga dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain suasana hati,
pengalaman masa lalu, dorongan yang ada pada diri individu, seperti : ingatan,
motivasi, daya tangkap, kecerdasan, dan harapan-harapan (Subaidah,2009: 1).
2. Keberadaan Konselor di Sekolah
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai
salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong
belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003
Pasal 1 Ayat 6). Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor,
memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Standar kualifikasi
akademik dan kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan atas dasar
kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan
mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan
pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli
kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling.
Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam
jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang admistratif atau pengajarandengan
mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya biasa menghasilkan individuyang
pintar dan terampil dalam aspek akademik, akan tetapi kurang terampil dalam
halmengenal atau mengembangkan potensi yang dimikinya. Oleh karena itu
keberadaan pelayanan bimbingan dan konseling sangat pentingdalam kurikulum
sekolah, karena bimbingan konseling merupakan suatu proses pemberian
bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu
tersebut dapat memahami dirinya dan potensi yang dimilikinya, dengan demikian
konselor dapat membimbing dan mengarahkan siswa sesuai dengan minat dan bakat
yang dimilikinya, dengan arahan-arahan yang diberikan oleh
konselor diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pada pendidikan menengah atas tujuan pendidikan telah terbiasa oleh anggapan
umum, demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase lulusan, tingginya
nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri.
Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum
menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta
didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja.
Untuk membantu siswa dalam menghadapi permasalahnya dan untuk mencapai
kompetensi juga keterampilan hidup yang diinginkan itu, peserta didik tidak
cukup hanya diberikan pengajaran bidang studi saja, tetapi juga dibutuhkan
bimbingan dan koseling. Untuk itu penting sekali rasanya pelayanan konseling
termasuk dalam kurikulum sekolah, agar dapat membantu problema yang alami oleh
siswa disekolah. Posisi bimbingan dan koseling dalam pelaksanaan kurikulum
sangat strtegis, dan sekolah berkewajiban memberikan bimbingan dan koseling
kepada peserta didik yang menyangkut ketercapaian kompetensi pribadi, social,
belajar, dan karir.
Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli
bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap
empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan
selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan.
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi
profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani,
(2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3)
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4)
mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat
komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi
yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara
terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.
Pembentukan kompetensi akademik konselor ini merupakan proses pendidikan
formal jenjang strata satu (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling, yang bermuara
pada penganugerahan ijazah akademik Sarjana Pendidikan (S.Pd) bidang Bimbingan
dan Konseling. Sedangkan kompetensi profesional merupakan penguasaan kiat
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang memandirikan, yang ditumbuhkan
serta diasah melalui latihan menerapkan kompetensi akademik yang telah
diperoleh dalam konteks otentik Pendidikan Profesi Konselor yang berorientasi
pada pengalaman dan kemampuan praktik lapangan, dan tamatannya memperoleh
sertifikat profesi bimbingan dan konseling dengan gelar profesi Konselor,
disingkat Kons.
3. Asesmen Ulang Penguasaan Kompetensi Akademik Bimbingan
Konseling
Ø Kompetensi Akademik Konselor
Dalam layanan ahli bidang lain seperti akutansi, notariat dan layanan
medik, kompetensi konselor yang utuh diperoleh melalui program S1 Pendidikan
Profesional Konselor Terintegrasi (Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds), 1990).
Ini berarti, untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan
konseling, tidak dikenal adanya pendidikan professional konsekuensi sebagaimana
yang berlaku di bidang pendidikan professional guru. Kompetensi akademik
seorang konselor professional terdiri atas kemampuan :
a.
Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani. Sosok
kepribadian serta dunia konseli yang perlu didalami oleh konselor meliputi
kemampuan akademik yang selama ini dikenal sebagai inteligensi yang hanya
mencakup kemampuan kebahasaan dan kemampuan numerical (matematik) yang lazim
dinyatakan sebagai IQ yang mengedepankan kemampuan berfikir analitik, dan juga
melebar ke segenap spectrum kemampuan intelektual manusia sebagaimana
dipaparkan dalam gagasan intelegensi multiple (Gardner, 1993) selain juga menghormati
keberadaan kemampuan berfikir sintetik dan kemampuan berfikir praktikal di
samping kemampuan berfikir analitik yang telah dikenal luas selama ini
(Sternberg, 2003), motovasi dan keuletannya dalam belajar atau bekerja
(perseverance, Marzano, 1992) yang diharapkan akan meneruskan sebagai keuletan
dalam bekerja, kreativitas yang disandingkan dengan kearifan (a.I. Sternberg,
2003) serta kepemimpinan, yang dibingkai dengan kerangka berfikir yang
mengedepankan karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang
keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta
berbagai permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya, dalam rangka
memetakan lintasan perkembangan kepribadian (developmental trajectory) konseli
dari keadaannya sekarang ke arah yang dikehendaki. Selain itu, sesuai dengan
panggilan hidupnya sebagai pekerja di bidang profesi perbantuan atau
pemfalitasian (helping prosessions), dalam upayanya mengenal secara mendalam
konseli yang dilayaninya itu, konselor selalu menggunakan penyingkapan yang
empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam
pelaksanaan layanan ahlinya.
b.
Menguasai khasanah teoritik dan procedural termasuk teknologi
dalam bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoritik dan procedural
serta teknologik dalam bimbingan dan konseling (Van Zandt,Z dan J.Hayslip,
2001) mencakup kemampuan :
a)
Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur
dan sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling.
b)
Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan
dan konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
c.
Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan. Untuk menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan (Gysbers, N. C. dan P. Henderson, 2006), seorang konselor harus
mampu :
a)
Merancang kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling.
b)
Mengimplementasikan kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling.
c)
Menilai proses dan hasil kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling serta melakukan penyesuaian – penyesuaian sambil jalan (mid-course
adjustments) berdasarkan keputusan transaksional selama rentang proses
bimbingan dan konseling dalam rangka memandirikan konseli (mind competence).
d.
Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara
berkelanjutan.
Sebagai pekerja profesioanal yang mengedepankan
kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan layanannya, konselor perlu membiasakan
diri menggunakan setiap peluang untuk belajar dalam rangka peningkatan
profesionalitas termasuk dengan memetik pelajaran dengan kerangka berfikir
belajar eksperiensial yang berlangsung secara siklikal (Cyclical Experiental
Learning Model, Kolb, 1984) sebagai bagian dari keseharian pelaksanaan
tugasnya, dengan merekam serta merefleksikan hasil serta dampak kinerjanya
dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling (reflective
practitioner, lihat kembali Schone, 1983). Selain itu, upaya peningkatan diri
itu juga dapat dilakukan secara lebih sistematis dengan melakukan Penelitian
Tindakan (Action Research), dengan mengakses berbagai sumber informasi termasuk
yang tersedia di dunia maya, selain melalui interaksi kesejawatan baik yang
terjadi secara spontan-informal maupun yang diacarakan secara lebih formal,
sampai dengan mengikuti pelatihan serta pendidikan lanjut.
Ø Kompetensi Profesional Konselor
Pekerjaan konselor didasarkan pada berbagai kompetensi yang tidak
diperoleh begitu saja. Melainkan melalui proses pembelajaran secara intensif.
Kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan konseling tidak diperoleh sekejap
melalui mimpi atau semedi atau bertapa sekian lama. Kompetensi seperti ini
dibarengi dengan tuntutan untuk berfikir, secara terus menerus mengikuti dan
mengakomodasi perkembangan ilmu dan teknologi. Pemberlakuan kredensialisasi
meliputi : program-program sertifiksi, akreditasi dan lisensi merupakan upaya
untuk menguji dan memberikan bukti penguasaan dan kewenangan atas kompetensi
konselor dalam pelayanannya.
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan
dalam menerapkan Kompetensi Akademik dalam bidang bimbingan dan konseling yang
telah dikuasai itu dalam konteks otentik di sekolah atau arena terapan layanan
ahli lain yang relevan melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa
Program Pengalaman Lapangan (rigorous), yang sistematis dan sungguh – sungguh,
yang rentang mulai penugasan terstruktur (self – managed practice)sampai dengan
latihan mandiri dalam program pemagangan, kesemuanya di bawah pengawasan Dosen
Pembimbing dan Konselor Pamong (Faiver, Eisengart, dan Colonna, 2004). Sesuai
dengan misinya untuk menumbuhkan kemampuan professional konselor, maka criteria
utama keberhasilan dalam keterlibatan mahasiswa dalam Program Pendidikan
Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuahan
kemampuan calon konselor dalam menggunakan rentetan panjang keputusan-keputusan
kecil yang dibingkai kearifan dalam mengkestrasikan optimasi pemanfaatan dampak
layanannya demi ketercapaian kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh
pendidikan.
Oleh karena itu, pertumbuhan kemampuan mahasiswa calon konselor
sebagaimana digambarkan di atas, mencerminkan lintasan dalam pertumbuhan
penguasaan kiat professional dalam penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan
Konseling yang berdampak menumbuhkan sosok utuh professional konselor sebagai
praktisi yang aman buat konseli.
Namun di pihak lain, meskipun tergambarkan dengan sangat indah secara
teoritik, juga perlu diakui kelemahan – kelemahan implementasinya selama ini,
dan bertolak dari kenyataan itu, perlu diupayakan pengatasannya di masa yang
akan datang, sehingga amanat penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan konselor
itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Ini juga berarti bahwa
penyelenggaraan Program Pendidikan Profesional konselor yang berupa Program
Pengalaman Lapangan itu memerlukan perhatian lebih dari yang diberikan di waktu
yang lalu. Selain itu, juga sangat diperlukan dukungan dari pihak pengelola
sekolah dan arena praktik lapangan lainnya, sebab berbeda dari pendidikan medic
yang didukung penuh oleh rumah sakit setempat, pelaksanakan PPL LPTK umumnya
kurang mendapat sambutan dari pihak sekolah, meskipun agaknya kesalahan juga
terdapat di pihak LPTK.
Dengan kata lain, simbiosis-mutualistis sebagaimana yang terdapat dalam
bidang medik itulah yang perlu ditumbuhkan dalam rangka pendidikan professional
konselor di tanah air.
Ø Persepsi Siswa Terhadap Keberadaan Konselor
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan
menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori
ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah,
khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dilakukan melalui
dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan
konseling.
Penanganan siswa bermasalah melalui pemdekatan disiplin merujuk pada
aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sangsinya.
Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa
beserta sangsinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi
terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, sekolah
bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sangsi kepada siswa yang mengalami
gangguan penyimpangan perilaku.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu
pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui
bimbingan dan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sangsi apa pun,
tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang
saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap
demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima lingkungannya, serta
dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Masih banyak anggapan bahwa keberadaan konselor di sekolah adalah sebagai
polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan
keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “Barangsiapa di antara siswa-siswi
melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”.
Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun
pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang dan diberi wewenang untuk
mengambil tindakan bagi siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk
mancari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat
sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan.
Dapat dibayangkan bagaimana tanggapan siswa terhadap konselor yang
mempunyai wajah seperti tersebut. Adalah wajar siswa menjadi takut dan tidak
mau dekat dengan konselor. Konselor di satu pihak dianggap sebagai “keranjang
sampah”, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswa yang rusak atau tidak beres,
dilain pihak dianggap sebagai “manusia super”, yang harus dapat mengetahui dan
dapat mengungkapkan hal-hal yang musyrik yang melatar belakangi suatu kejadian
atau masalah.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang
kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti
menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri
sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat lainnya. Padahal,
sebaliknya dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor
haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Di samping petugas-petugas
lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan
siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas
bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai
dan akan menangkap siapa saja yang bersalah. Petugas bimbingan dan konseling
bukanlah kawan pengiring petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan pembina
tingkah laku-tingkah laku positif yang dikehendaki. Petugas bimbingan dan
konseling hendaknya bisa menjadi sitawar-sidingan bagi siapapun yang
datang kepadanya. Dengan pandangan, sikap, keterampilan, dan penampilan
konselor siswa atau siapapun yang berhubungan dengan konselor akan memperoleh
suasana sejuk dan member harapan.
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai
pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,
harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh,
pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan
sendiri. Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada
dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban
kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika
kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh
satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap,
tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno dan Erman Amti.
1994. Dasar – Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Hikmawati Fenti.
2010. Bimbingan konseling. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2008. Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal. Bandung : Jurusan BK UPI.