BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan
merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat
berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran
normatif. Disisi lain proses perkembangan dan pendidikan manusia tidak hanya
terjadi dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan
formal ( sekolah ) saja. Lingkungan
atau tempat berlangsungnya proses pendidikan juga meliputi pendidikan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Ketiga
lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan. Dengan kata lain
proses perkembangan pendidikan manusia untuk mencapai hasil yang maksimal tidak
hanya tergantung tentang bagaimana sistem pendidikan formal dijalankan. Namun
juga tergantung pada lingkungan pendidikan yang berada diluar lingkungan
formal.
B.Rumusan Masalah
1) Bagaimana
pengaruh pendidikan di lingkungan rumah tangga?
2) Bagaimana
pengaruh pendidikan di lingkungan sekolah?
3) Bagaimana pengaruh pendidikan di
lingkungan masyarakat
C.Tujuan
Setelah mempelajari makalah ini
diharapkan mahasiswa mengetahui informasi tentang saling ketergantungan antara
manusia dengan lingkungan dan pengaruhnya terhadap kehidupan.
1) Menjelaskan tentang pengaruh
pendidikan di lingkungan rumah tangga
2) Menjelaskan tentang pengaruh
pendidikan di lingkungan sekolah
3) Menjelaskan tentang pengaruh
pendidikan dalam lingkungan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama
Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri
atas ayah, ibu dan anak. Setiap komponen dalam keluarga memiliki peranan
penting. Dalam ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib
dipertanggung jawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah
kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan
bagi anak-anak dalam rumah tangga. Ketika komponen yang ada di dalam keluarga
terutama orang tua salah dalam mendidikan anak, maka sulit untuk merubah sifat
anak tersebut. Karena pendidkan dari keluarga merupakan pondasi, Dan ketika
pondasi tersebut tidak bagus, maka seterusnya tidak akan bagus.
Keluarga terdiri atas dua kata: kawula dan warga. Di dalam bahasa
Jawa kuno, kawula berarti hamba. Maksudnya orang yang menghambakan diri. Warga
artinya anggota. Maksudnya, seseorang yang dalam lingkunganya mempunyai hak dan
kewajiban atas terselenggaranya segala sesuatu yang baik bagi lingkungannya. Jadi
keluarga, ialah satu kesatuan, dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri
kepada kepentingan dan tujuan kelompok tersebut. (Zahara Idris, 1992:83)
Kata "Keluarga" secara
etimologi men urut K.H.
Dewantara adalah sebagai berikut:
"Bagi bangsa kita perkataan
"Keluarga" tadi kita kenal sebagai rangkaian
perkataan-perkataan "kawula" dan "warga". Sebagaimana kita
ketahui, maka "kawula" itu tidak lain artinya dari pada
"abdi" yakni "hamba"
sedangkan "warga" berarti "anggota". Sebagai "abdi"
di dalam "keluarga" wajiblah seseorang di situ menyerahkan segala kepentingan-kepentingannya kepada
keluarganya. Sebaliknya sebagai "warga" atau
"anggota" berhak sepenuhnya pula untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya".
(Abu Ahmadi, 1991:176)
Jika ditinjau dari ilmu sosiologi,
keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang
terdiri atas beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk
kesatuan masyarakat. (Abu Ahmadi, 1991:177)
Pendidikan keluarga adalah juga pendidikan masyarakat, karena di samping keluarga itu
sendiri sebagai kesatuan kecil daribentuk
kesatuan-kesatuan masyarakat[3], juga karena pendidikan yang
diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakat kelak. Dengan
demikian nampaklah adanya satu hubungan erat antara keluarga dengan
masyarakat. Keluarga sebagai alam pendidikan pertama (Dasar). (Abu Ahmadi,
1991:177)
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan didalam keluarga. Orang tua tanpa ada
yang memerintah langsung memikul tugas
sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina
maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas
kodrati dari tiap-tiap manusia. (Abu Ahmadi, 1991:177)
Anak mengisap norma-norma pada anggota keluarga, baik ayah maupun ibu.
Maka orang tua di dalam keluarga harus dan bahkan wajib kodrati untuk memperhatikan
anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak itu kecil, bahkan sejak anak itu masih dalam kandungan sampai ahir hayat.
Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang
pendidikan yang legal. Bahkan menurut Imam Ghozali -."Anak adalah
suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya". (Abu Ahmadi, 1991:178)
Anak adalah anggota keluarga, di mana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai
penanggung jawab atas keselamatan anak-anaknya di dunia dan khususnya di
akhirat. (Abu Ahmadi, 1991:177)
Adapun sifat-sifat badan pendidikan keluarga, yaitu:
1.
Lembaga pendidikan tertua
2. Lembaga pendidikan informal
3. Lembaga pendidikan pertama dan utama
4. Bersifat kodrati (Suwarno, 1982:66)
Selain itu, pendidikan keluarga juga memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Pengalaman pertama masa kanak-kanak
2. Menjamin kehidupan emosionil anak
3. Menanamkan dasar pendidikan moril
4. Memberikan dasar pendidikan sosial (Suwarno,
1982:67)
Dijelaskan juga bahwa keluarga memiliki
beberapa peranan terhadap pendidikan anak, yaitu:
1. Menurunkan
sifat biologis atau susunan anatomi melalui hereditas, menurunkan susunan urat
syaraf, kapasitas inteligensi, motor and sensory equipment
2. Memberikan
dasar-dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar, seperti pendidikan agama,
budi pekerti, sopan santun, estetia, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk
mematuhi peraturan-perturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan (Zahara Idris,
1992:84)
Diterangkan juga, bahwa orang tua
memiliki fungsi peranan dalam lapangan pendidikan dalam lingkungan keluarga,
yaitu:
1. Pembiasaan
2. Pendidikan
intelektual, moral, emosional,
3. Pendidikan
kewarganegaraan, termasuk pendidikan politik,
4. Pengembangan
moralitas, terutama moralitas agama (M. Said, 1985:131)
B. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan
Kedua
Sekolah juga merupakan pemegang peranan yang tak kalah penting dalam
pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada
jiwa anak. Maka di samping keluarga
sebagai pusat pendidikan yang membentuk akhlak seorang anak, sekolahpun
mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan
formal (legal) untuk pembentukan pribadi anak. (Abu Ahmadi, 1991:180)
Dengan
sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai.dengan bidang dan bakatnya
masins-masing anak. Dengan sekolah, golongan
atau partai mendidik kader-kadernya
untuk meneruskan dan memperjuangkan cita-cita dari golongan
atau partainya. Dengan sekolah, kaum beragama mendidik putra-putranya untuk menjadi orang yang melanjutkan dan
memperjuangkan agama. (Abu Ahmadi, 1991:180)
Karena
sekolah itu sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan,
maka dapatlah kita golongkan sebagai tempat
atau lembaga pendidikan kedua sesudah keluarga, lebihlebih mempunyai fungsi melanjutkan
pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang yang harus ditaati. (Abu
Ahmadi, 1991:181)
Lamanya
pendidikan di sekolah juga ikut menentukan berhasil tidaknya pembentukan pribadi, yaitu:
1.
Sejak anak umur 4 atau 5 tahun ada yang sudah dimasukkan ke
sekolah, yaitu Sekolah Taman Kanak-Kanak atau Bustanul
Atfal. Anak yang baru saja memiliki bahasa dan mulai mengakui adanya gezah,
oleh guru dididik dengan diasuh, diajari tata-cara, dididik dengan
kebijaksanaan.
2.
Kemudian
umur enam tahun (6 tahun) anak disekolahkan ke Sekolah Dasar atau Ibtidaiyah.
Mulailah anak diberi ilmu
pengetahuan dasar di camping pendidikan.
Selama enam tahun, yaitu sampai dengan umur
12 tahun,anak terns menerus diberi pendidikan dan pengajaran.
3.
Sekitar
umur 13 tahun anak meneruskan ke sekolah tingkat Menengah Pertama atau Tsanawiyah. Sampai dengan umur15 tahun,
jadi selama tiga tahun anak mendapat didikan yang berbeda dengan pendidikan di
Sekolah Dasar, karena para pendidik tahu bahwa pada anak sudah ada pengetahuan
dasar dan pada masa ini anak telah kritis dan tahu akan nilai-nilai kesusilaan, keindahan, kemasyarakatan, kebangsaan
dan keagamaan.
4.
Sekitar umur 16 tahun anak melanjutkan ke sekolah Menengah Atas atau
Aliyah selama tiga tahun lagi. Pendidikan disini bersifat
pematangan dengan adanya pembagian sesuai dengan bakat si anak. Selesai di Sekolah tingkat ini anak berumur kurang lebih 1.8 tahun,
yang berarti sudah mulai masuk ke periode adoliscensi(masa dewasa).
Jadi selama 14
tahun anak hidup di dalam pendidikar,sekolah.Waktu 14 tahun adalah cukup lama untuk bisa ikutmenentukan pribadi anak. Ada pula sekolah yang
merangkaikan antara waktu Sekolah Menengah Pertama denganSekolah Menengah Atas, seperti PGA 6 tahun
(PendidikanGuru Agama enam tahun), Muallimin dan Muallimat.
5. Bagi
anak yang masih besar minatnya untuk melanjutkan kuat fikirannya serta mampu biayanya, masih bisa melanjutkanstudinya ke
Perguruan Tinggi atau Al-Jami'ah selama tiga tahun (Sarjana Muda) atau
lima tahun (Sarjana Lengkap). (Abu Ahmadi, 1991:181-182)
Pada masa ini, anak telah dapat menyelesaikan pembentukan pribadi sendiri, karena telah
memasuki dunia kemahasiswaan dan telah berada atau menginjak masa adoliscensi.
(Abu Ahmadi, 1991:182)
Mengingat cukupnya waktu dan pentingnya fungsi sekolah dalam ikut
serta pembentukan pribadi anak, maka pendidikan yang hanya bersifat intelektualitas
saja adalah kurang efektif, mengkhianati
amanat orang tua si anak, menyia-nyiakan kesempatan yang baik bagi si anak yang sedang dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya dan sebagai suatu
kesalahan yang besar, yang harus kita perhatikan dan selanjutnya tidak boleh
kita biarkan, melainkan harus kita kembalikan ke fungsi yang sebenarnya. (Abu
Ahmadi, 1991:182)
Pendidikan yang hanya bersifat intellectuallistisch adalah akibat jelek
dari sistim pendidikan aliran rationalisme yang dibawa Belanda ke tanah air kita
tahun 1850. Sistem ini kurang mengingat
bahwa manusia adalah sebagai kebulatan, akibatnya dengan warisan Belanda itu manusia menjadi terlalu
individualistisch dan
materialistisch, maka sistim ini harus kita hindari. (Abu Ahmadi, 1991:182)
Pemerintah Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan ber-Undang-Undang
Dasar 1945 dengan sekolah-sekolah negerinya tidak hanya mengharapkan agar
anak-anak dididik penuh dengan ilmu saja, tapi juga yang penting adalah
membentuk anak-anak bermental menjadi Pancasilais sejati, begitu pokok pesan Jendral Soeharto pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional. Ini berarti, bahwa pertama-tama gurulah yang harus mem-Pancasila-kan dirinya. Sebab
hanya guru Pancasila dapat menyebarkan Pancasila". (Abu Ahmadi, 1991:182)
Amanat Jenderal Soeharto (sekarang Presiders) pada tanggal 2 Mei 1967 itu
selanjutnya berpesan, agar guru-guru jangan menyia-nyiakan
masa anak-anak didik yang berharga, sebab mereka adalah
harapan bangsa. Amanat ini ditujukan kepadaguru-guru untuk mem-Pancasilakan dan
meng-Orde Baru kananak-anak didik.Untuk
melaksanakan ini, seorang guru sekolah segala
sikap tindakannya harus sebagai contoh, baik itu dalamkelas sekolah
maupun di luar sekolah, harus membantu ke arah manusia yang benar-benar Pancasilais
Orde Baru. (Abu Ahmadi, 1991:183)
Pancasila, di mana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa harus
merupakan inti tujuan pendidikan, dengan agama sebagai uncut mutlaknya, sebab
Pancasila merupakan dasar dan pemberi arah dalam kehidupan bangsa Indonesia.
(Abu Ahmadi, 1991:183)
Menolak Pancasila berarti menolak kepribadian sendiri, mengingkari Pancasila berati
mengingkari adanya Tuhan dan mengingkari
agama.Maka bagi kita, Pancasila harus dilaksanakan dan diajarkan secara murni dan konsekuen. (Abu Ahmadi,
1991:183)
Sebab itu, tugas sekolah yang penting adalah membentuk manusia Pancasilais sejati, yaitu
manusia yang ber "Tauhid", ber-Perikemanusiaan, ber-Kebangsaan, ber-Kedaulatan
Rakyat dan ber- Keadilan Sosial. (Abu Ahmadi, 1991:183)
Dengan adanya
amanat jenderal Soeharto pada tanggal 2 Mei1967
itu dapatlah difahami, bahwa pemerintah memandang sekolah sangat berfungsi
dalam pembentukkan pribadi Pancasilais.
Suatu peristiwa yang wajib kita syukuri adalah adanya pergantian pemerintah dari Orde Lama menjadi pemerintah Orde Baru,
sehingga pelajaran agama dapat dilaksanakan disekolah-sekolah
negeri, bahkan menjadi mata pelajaran wajib yang ikut menentukan, baik
di sekolah-sekolah rendah maupun sampai ke Perguruan Tinggi. (Abu Ahmadi,
1991:183)
Dengan demikian, ada kesempatan yang baik untuk melaksanakan dakwah Islamiyah di
sekolah-sekolah negeri.
Guru digugu ditiru berfungsi sebagai ganti orang tua. Maka, bila guru dalam
mendidik benar-benar melaksanakan tugasagama dengan baik sehingga bisa
membentuk kepribadian anak.(Abu Ahmadi, 1991:183)
Adapun sifat-sifat lembaga pendidikan sekolah, yaitu:
1.
Tumbuh
sesudah keluarga
2.
Lembaga
pendidikan formal
3.
Lembaga
pendidikan yang tak bersifat kodrat
Selain itu juga pendidikan sekolah
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.
Mengembangkan
kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan
2.
Spesialisasi
3.
Effisiensi
4.
Sosialisasi
5.
Konservatori
dan transmisi kulturil
6.
Transisi dari
rumah masyarakat (Suwarno, 1982:71-72)
C. Masyarakat
sebagai Lembaga Pendidikan Ketiga
Masyarakat sebagai lembaga Pendidikan ketiga sesudah keluarga dan
sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang
lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman
bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya. (Abu Ahmadi, 1991:184)
Masalah
pendidikan di Keluarga dan sekolah tidak bisa melepaskan dari nilai-niali sosial budaya yang di junjung tinggi oleh semua
lapisan masyarakat.
Setiap masyarakat di manapun berada, tentu mempunyai karakteristik
tersendiri sebagai norma khas di bidang sosial budaya yang berbeda dengan
karakteristik masyarakat lain, namun juga mempunyai norma-norma yang
universal dengan masyarakat
pada umumnya. (Abu Ahmadi, 1991:184)
Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti
oleh warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian
warganya dalam bertindak dan bersikap. (Abu Ahmadi, 1991:184)
Norma-norma
masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan
aturan-aturan yang ditularkan oleh generasi tuakepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan
proses pendidikan masyarakat.
(Abu Ahmadi, 1991:184)
Para tokoh
agama atau tokoh masyarakat berperanan dalam penularan
norma-norma masyarakat di samping orang tuakepada anak-anak tentang adat-istiadat atau tradisi atau sopan santun, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun
dalam pergaulan sehari-hari.Umpamanya
norma-norma yang boleh diperbuat, yang seharusnya diperbuat atau yang
tabu diperbuat. (Abu Ahmadi, 1991:184)
Contoh tentang sopan santun orang Timur yang mengajarkan/ menentukan
cara memberi sesuatu kepada, atau menerima sesuatu dari orang lain dengan
tangan kanan.
Bagi orang Timur, menerima dan memberi dengan tangan kiri dinilai
tidak sopan, tidak tahu aturan, dianggap menghina atau
meremehkan. Hal demikian tidak berlaku bagi Orang Barat yang membolehkan menerima dan
memberi dengan tangan kiri.
Orang Timur menganjurkan untuk Baling menyapa sesamatetangga bila bertemu di jalan. Bagi Orang Barat sapaan seseorang ada
yang menganggap sok ingin tahu urusan orang lain. (Abu Ahmadi, 1991:185)
Sesama Masyarakat Indonesiapun antara tempat yang satu dengan tempat
yang lain, antara suku yang satu dengan suku yang lain, tidak sama dalam hat adat dan
tradisi. Seperti adat suku‑suku di Jawa, adat
suku-suku di Sumatra, adat-adat suku di Irian Jaya dan sebagainya dalam hat kelahiran, perkawinan dan kematian tidak sama. Masing-masing adat itu ditularkan kepada generasi
berikutnya.
(Abu Ahmadi, 1991:185)
Sekira ada perubahan adat dan tradisi oleh generasi berikutnya dan perubahan itu menguat di masyarakat maka
perubahanitulah yang kemudian ditularkan kepada generasi
berikutnya.
Kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih dan
bekerjasama di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu adalah merupakan
sumber pendidikan bagi warga masyarakat,
seperti Lembaga-lembaga sosial budaya, yayasan yayasan, organisasi-organisasi, perkumpulan-perkumpulan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur pelaksana
asas pendidikan masyarakat.
(Abu Ahmadi, 1991:185)
Lembaga-lembaga yang ada dalam maysarakat seperti Lembaga Dakwah,
Lembaga Hukum, Lembaga Bahasa, Lembaga Pengabdian dan
Lembaga-lembaga Sosial lainnya tidak sekedar menolong atau
mencari keuntungan material, tetapi juga melakukan aktivitas-aktivitas dengan
menyampaikan ajaran melatih ketrampilan dan
menangani pengkaderan yang kesemuanya berperanan dalam pembentukan sikap kepribadian orang-orang itu. (Abu
Ahmadi, 1991:185)
Yayasan-yayasan yang ada dalam masyarakat banyak yang bergerak
langsung di bidang pendidikan, seperti mendirikan sekolah-sekolah swasta, baik
sekolah umum maupun sekolah agama, mulai tingkat Taman Kanak-Kanak sampai
dengan Perguruan Tinggi.(Abu Ahmadi, 1991:185)
Pendidikan masyarakat adalah bagian integral pendidikan
nasional yang mempunyai tugas melaksanakan pendidikan kepada masyarakat diluar
sekolah. Pendidikan yang alami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika
anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di
luar dari pendidikan sekolah.dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan
tersebut tampak lebih luas. Sebagaimana yang di kemukakan bahwa masyarakat yang
merupakan lembaga ketiga sebagai lembaga pendidikan, dalam konteks
menyelenggarakan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai salah satu
lingkungan terjadinya kegiatan pendidikan, masyarakat mempunyai pengaruh yang
sangat besar berlangsungnya segala aktivitas yang menyangkut masalah
pendidikan.
Masyarakat juga memiliki peran terhadap pendidikan,
yaitu:
- Masyarakat berperan serta dalam mendirikan dan
membiayai sekolah .
- Masyarakat berperan dalam mengawasi pendidikan agar
sekolah tetap membantu dan mendukung cita-cita dan kebutuhan masyarakat .
- Masyarakat ikut menyediakan berbagai sumber untuk
sekolah.
- Masyarakat
ikut menyediakan tempat pendidikan seperti gedung-gedung pembelajaran,
musium, perpustakaan, panggung –panggung kesenian, dll.
- Masyarakat sebagai sumber pelajaran atau
laboratorium tempat belajar.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa peran
masyarakat sangatlah besar terhadap pendidikan sekolah. Pendidikan selalu
diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai kehidupan manusia. Didalam
pengembangan nilai, tersirat pengertian, manfaat yang ingin dicapai oleh
manusia di dalam hidupnya. Jadi, apa yang ingin dikembangkan merupakan apa yang
dapat dimanfaatkan dari arah pengembangan itu sendiri.
Pendidikan
tidak bisa lepas dari efek-efek luar yang saling mempengaruhi keberadaanya,
terutama bagi masyarakat sekitarnya, yang mempunyai hubungan saling
ketergantungan. Dalam hal ini pengaruh masyarakat pada dasarnya tergantung pada
luas tidaknya kualitas out put pendidikan itu sendiri. Semakin besar
out put tersebut dengan disertai kualitas yang mantap, dalam artian mampu
mencetak SDM yang berkualitas maka tentu saja pengaruhnya sangat positif bagi
masyarakat.
Dengan
demikian, bila lembaga pendidikan dimaksudkan mampu melahirkan produk-produknya
yang berkualitas tentu saja hal ini merupakan investasi bagi penyedia
SDM.Investasi ini sangat penting untuk perkembangan kemajuan masyarakat sebab
manusia itu sendiri adalah subjek setiap perkembangan, perubahan, dan kemajuan
dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak
khususnya keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang
dikenal sebagai tripusat pendidikan. Fungsi dan peranan tripusat pendidikan itu
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama merupakan faktor penting dalam
mencapai tujuan pendidikan, yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya serta
menyiapkan sumber daya manusia pembangunan yang bermutu. Dengan demikian,
pemenuhan fungsi dan peranan itu secara optimal merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan pembangunan nasional.
B.
Saran
Adapun saran yang penulis berikan adalah perlunya peningkatan
pelayanan dari tripusat pendidikan kepada peserta didik agar dapat meningkatkan
tiga kegiatan pendidikan (membimbing, mengajar, dan melatih) sehingga dapat
meningkatkan perkembangan peserta didik kearah yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, Ilmu
Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991
Idris, Zahara, Pengantar
Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 1992
Said, M.,
Ilmu Pendidikan, Bandung: Penerbit Alumni, 1985
Suwarno, Pengantar
Umum Pendidikan, Surabaya: IKAPI, 1982
Tim Dosen
FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan,Surabaya: Usana
Offset Printing, 1981