Wikipedia

Search results

MAKALAH MACAM – MACAM MODEL PEMBELAJARAN


MAKALAH
MACAM – MACAM MODEL PEMBELAJARAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pembelajaran tematik
yang dibina oleh Bapak Kuncahyono M.Pd







Disusun Oleh Kelompok 11 :
Rindiani Mafika Sari                         201810430311041
Zahrina Amalia Khairina                   201810430311044
Diana Tri Rosanti                              201810430311063
Dea Furqonul Jannah                        201810430311166
PGSD 4B


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirot Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak yang terus mendorong penulis untuk menyelesaikannya. Terbitnya makalah ini merupakan hal yang sangat di butuhkan dalam proses pembelajaran Tematik. Makalah ini berisikan informasi atau pengetahuan mengenai macam – macam model pembelajaran.
Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca dan juga Bapak Kuncahyono yang membangun dan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikian, dan jika terdapat banyak kesalahan penulis mohon dimaafkan yang sebesar – besarnya.
Malang, Februari 2020



Penyusun 









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATARBELAKANG.......................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH.................................................................... 2
C.     TUJUAN.............................................................................................. 2
D.    MANFAAT.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Model Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning...................... 3
B.     Model Pembelajaran Berbasis Project Based Learning........................
C.     Model Pembelajaran Berbasis Inquiry..................................................
D.    Model Pembelajaran Berbasis CTL......................................................
E.     Kompetensi Abad 21.............................................................................
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................









BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
 Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk pemilihan model ini sangat dipengaruhi dari sifat dan materi yang akan diajarakan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat kemampuan peseta didik. Di samping itu pula, setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahapan-tahapan (sintaks) oleh peserta didik dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini berlangsung di antara pembukaan dan penutup yang harus dipahami oleh guru supaya model-model pembelajaran dapat dilaksanakan dengan berhasil. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur.
 Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri tersebut antara lain: 1) rasional teoretik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya, 2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai), 3)tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, 4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.  



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud Model Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning ?
2.      Apa yang dimaksud Model Pembelajaran Berbasis Project Based Learning?
3.      Apa yang dimaksud Model Pembelajaran Berbasis Inquiry?
4.      Apa yang dimaksud Model Pembelajaran Berbasis CTL?
5.      Apa yang dimaksud Kompetensi Abad 21?

C.     TUJUAN
1.      Untuk  mengetahui bagaimana Model Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning.
2.      Untuk  mengetahui bagaimana Model Pembelajaran Berbasis Project Based Learning.
3.      Untuk mengetahui bagaimana Model Pembelajaran Berbasis Inquiry.
4.      Untuk mengetahui bagaimana Model Pembelajaran Berbasis CTL.
5.      Untuk mengetahui bagaimana Kompetensi Abad 21.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Model Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning
Pengertian pembelajaran Berbasis Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendekatan pembelajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik dalam meningkatkan keterampilan berfikir kritis, memecahkan masalah, meningkatkan kepercayaan diri serta memperoleh pengetahuan konsep-konsep penting dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan tersebut.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan (Daryanto, 2014).
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar siswa karena melalui pembelajaran ini siswa belajar bagaimana menggunakan konsep dan proses interaksi untuk menilai apa yang mereka kita ketahui, mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, mengumpulkan informasi dan secara kolaborasi mengevaluasi hipotesisnya berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Ni, 2008).
Tujuan Problem Based Learning (PBL)
Tujuan pembelajaran adalah membantu siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan mengubah tingkah laku siswa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perubahan tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai atau norma yang berfungsi sebgai pengendali sikap dan prilaku siswa. Sebenarnya tujuan utama PBL bukanlah penyampaian sejumlah besar ilmu pengetahuan kepada siswa, melainkan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan kemampuan siswa untuk secara aktif membangun pengetahuan sendiri. PBL juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial siswa. Kemandirian belajar dan keterampilan sosial itu dapat terbentuk ketika siswa berkolaborasi untuk mengidentifikasi informasi, strategi dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah (Hosnan, 2014).

Karakteristik Project Based Learning
1.      Pengajuan masalah atau pertanyaan.
Pengajuan pembelajaran berkisar pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Pertanyaan dan masalah yang diajukan itu harus memenuhi kriteria autentik, jelas, mudah dipahami, luas dan bermanfaat.
2.      Keterkaitan dengan berbagai masalah dengan disiplin ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berbasis masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu.
3.      Penyelidikan yang autentik
Penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berbasis masalah bersifat autentik(nyata). Selain itu penyelidikan diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengamalkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, menarik kesimpulan, dan menggambarkan hasil akhir.
4.      Menghasilkan dan memamerkan hasil karya
Pada pembelajaran berbasis masalah, siswa bertugas menyusun hasil penelitian dalam bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau dibuat laporannya.

5.      Kolaborasi
Pada pembelajaran masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antara siswa dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun besar, dan bersama-sama antarsiswa dengan guru (Hosnan, 2014).
Langkah proses Problem Based Learning
Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki prosedur yang jelas dalam melibatkan siswa untuk mengidentifikasi permasalahan. 6 langkah strategi pembelajaran berdasarkan masalah yang kemudian dinamakan metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu :
1.      Merumuskan masalah, yakni langkah siswa dalam menentukan masalah yang akan dipecahkan.
2.      Menganalisis masalah, yakni langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
3.      Merumuskan hipotesis, yakni langkah siswa dalam merumuskan pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
4.      Mengumpulkan data, yakni langkah siswa untuk mencari informasi dalam upaya pemecahan masalah.
5.      Pengujian hipotesis, yakni langkah siswa untuk merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6.      Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yakni langkah siswa menggambarkan rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan (Wina, 2006).
Keunggulan Problem Based Learning
Keunggulan strategi pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai teknik yang bagus untuk memahami isi pembelajaran.
2.      Dapat merangsang kemampuan siswa untuk menemukan pengetahuan baru bagi mereka.
3.      Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
4.      Dapat membantu siswa untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuannya serta dapat digunakan sebagai evaluasi diri terhadap hasil maupun proses belajar.
6.      Dapat membantu siswa untuk berlatih berfikir dalam menghadapi sesuatu.
7.      Pemecahan masalah dianggap menyenangkan dan lebih digemari siswa.
8.      Pemecahan masalah mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
9.      Pemecahan masalah memberi kesempatan siswa untuk mengaplikasikan pengetauan mereka dalam kehidupan nyata.
10.  Pemecahan masalah mengembangkan minat belajar siswa (Wina, 2006).
Kelemahan Problem Based Learning
Kelemahan strategi pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Jika peserta didik tidak memiliki niat atau kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya.
2.      Sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka ingin pelajari (Sanjaya, 2007).

B.     Model Pembelajaran Berbasis Project Based Learning
Pengertian pembelajaran Berbasis Based Learning
         Pengertian Pembelajaran Berbasis Proyek Istilah pembelajaran berbasis proyek merupakan istilah pembelajaran yang diterjemahkan dari istilah dalam bahasa Inggris project based learning. Menurut BIE 1999 dalam Trianto (2014) project based learning adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruksi belajar mereka sendiri dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai realistik.
         Menyatakan bahwa model pembelajaran yang menggunakan proyek sebagai kegiatan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penekanan pembelajaran terletak pada aktivitas-aktivitas siswa untuk menghasilkan produk dengan menerapkan keterampilan meneliti, menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil projek dalam bentuk desain, skema, karya tulis, karya seni, karya teknologi/prakarya, dan nilai-nilai.
         Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja sama secara mandiri maupun berkelompok dalam mengkontsruksikan produk nyata.
         Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan kompleks yang diperlukan siswa dalam melakukan investigasi dan memahaminya. Pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah model pengelolaan pembelajaran seputar proyek.
         Definisi tersebut di atas merujuk pada pendapat beberapa ahli yang memberikan definisi tentang pembelajaran berbasis proyek. Buck Institute for Education (1999) dalam Trianto (2014:41) menjelaskan: Project-Based learning (PBL) is a model for classroom activity that shifts away from the usual classroom activity that shifts away ffrom the usual classroom practices of short, isolated, teacher-centred lessons. PBL learning activities are long-term, interdisciplinary, student-centred, and integrated with real-world issues and practices. Dengan terjemahan sebagai berikut: (Pembelajaran berbasis proyek adalah suatu model kegiatan di kelas yang berbeda dengan biasanya. Kegiatan pembelajaran berbasis proyek berjangka waktu lama, antar disiplin, berpusat pada siswa dan terintegrasi dengan masalah dunia nyata).
         Model pembelajaran berbasis proyek (PBP) adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran melalui kegiatan penelitian untuk mengerjakan dan menyelesaikan suatu proyek tertentu. Walaupun model pembelajaran berbasis proyek dapat dikatakan sebagai model lama, tetapi model ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan model pembelajaran lain sehingga model PBP banyak digunakan dan terus dikembangkan.
         Salah satu keunggulan tersebut adalah bahwa model PBP dinilai merupakan salah satu model pembelajran yang sangat baik dalam mengembangkan berbagai keterampilan dasar yang harus dimiliki siswa termasuk keteramplan berpikir, keterampilan membuat keputusan, kemampuan berkreativitas, kemampuan memecahkan masalah, dan sekaligus dipandang efektif untuk mengembangkan rasa percaya diri dan manajemen diri para siswa (Abidin, 2014).
         Sedangkan model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah sebuah model pembelajaran yang menggunakan proyek (kegiatan) sebagai inti pembelajaran. Dalam kegiatan ini, siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan sintesis informasi untuk memperoleh berbagai hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, dan sikap).
Karakteristik dan Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)
a.       Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)
            Menurut Buck Institute for Education (1999) dalam Trianto (2014: 43) menyebutkan bahwa project based learning memiliki karakteristik, yaitu:
a.       siswa sebagai pembuat keputusan, dan membuat kerangka kerja
b.      terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya
c.       siswa sebagai perancang proses untuk mencapai hasil.
d.      siswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan.
e.       melakukan evaluasi secara kontinu.
f.       siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan.
g.      hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya.
h.      Kelas memiliki atmosfir yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
         Karakteristik pembelajaran berbasis proyek menurut BIE (1999) dalam memposisikan siswa sebagai pemain utama dalam pembelajaran. Siswa aktif dalam hal membuat keputusan, merancang solusi, bertanggung jawab mencari dan mengelola informasi, dan merefleksikan apa yang mereka lakukan. Selain itu, ada masalah atau tantangan tanpa solusi yang telah ditetapkan sebelumnya, evaluasi berlangsung terus menerus, dan adanya produk akhir, serta ruang kelas memiliki suasana yang mentolerir kesalahan dan perubahan.
         Selanjutnya dijelaskan juga oleh Intel Corporation tentang karakteristik pembelajaran berbasis proyek (project based learning), yang terdiri dari:
a.       Siswa di pusat dari proses pembelajaran.
b.      Proyek fokus pada tujuan penting pembelajaran yang selaras dengan spesifikasi kurikulum.
c.       Proyek didorong oleh Curriculum-Framing Questions.
d.      Proyek melibatkan terus-menerus dan beberapa jenis asesmen.
e.       Proyek ini memiliki koneksi dunia nyata.
f.       Siswa menunjukkan pengetahuan melalui sebuah produk atau kinerja.
g.      Teknologi mendukung dan meningkatkan pembelajaran siswa
h.      Keterampilan berpikir merupakan bagian integral dari pekerjaan proyek.
i.        Strategi instruksional yang bervariasi dan mendukung gaya belajar beberapa.
         Karakteristik pembelajaran berbasis proyek menurut intel ini pada dasarnya memiliki kesamaan seperti yang telah disebutkan di atas, namun konsepnya lebih lengkap. Kesamaannya pada posisi siswa yang aktif dalam belajar, adanya masalah yang diuraikan dalam bentuk pertanyaan. Hal yang menjadi pembeda dengan karakteristik di atas adalah adanya hubungan dengan dunia nyata.
Prinsip-prinsip pembelajaran Berbasis Proyek
         Pembelajaran berbasis proyek dapat diidentifikasi melalui ciri-cirinya, pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui pembuatan produk. Produk yang dibuat dengan serangkaian kegiatan perencanaan, pencarian, kolaborasi. Dalam kajiannya Krajcik, et al. dalam Abdurrahim (2011) menyarankan lima ciri-ciri dari pembelajaran berbasis proyek, yakni: driving question, investigation, artifacts, collaboration dan technological tools.
1.             Centrality (keberpusatan)
         Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Bell dalam Abdurrahim (2011) mengatakan, “PBL is not suplementery activity to support learning; It is a basic of the curriculum”. Di dalam pembelajaran berbasis proyek, proyek adalah model pembelajaran; siswa mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktek tambahan, atau aplikasi praktek yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembelajaran berbasis proyek. Kegiatan proyek yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk pembelajaran berbasis proyek.
2.             Driving Question (berfokus pada pertanyaan atau masalah)
         Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong siswa menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Definisi proyek (bagi siswa) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, et. al. dalam Abdurrrahim, 2011). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000).
         Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek mungkin dibangun melalui unit tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengajar siswa, sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et. al. dalam Abdurrahim, 2011).
3.             Constructive Investigation (investigasi konstruktif)
         Proyek melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, discovery, atau proses pengembangan model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria pembelajaran berbasis proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak siswa. Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek pembelajaran berbasis proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek dalam pembelajaran berbasis proyek (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).
4.             Autonomy (otonomi siswa)
         Proyek mendorong siswa sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh pembelajaran berbasis proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam pembelajaran berbasis proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek pembelajaran berbasis proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat ketat (tanpa diawasi), dan siswa lebih bertanggung jawab daripada proyek tradisional dan pembelajaran tradisional (Bereiter, et al. dalam Abdurrahim, 2011).

5.             Realism (realisme)
         Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontetikan pada siswa. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan siswa, konteks di mana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan siswa dalam proyek, produk yang dihasilkan, kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran berbasis proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya (Baron, et al. dalam Abdurrahim, 2011). Wena (2012) dalam Nashriah (2014) menurut Thomas pembelajaran berbasis proyek mempunyai beberapa prinsip, yaitu:
1.      Prinsip sentralistis (centrality) menegaskan bahwa kerja proyek merupakan esensi dari kurikulum.
2.      Prinsip pertanyaan pendorong/penuntun berarti bahwa kerja proyek berfokus pada pertanyaan atau permasalahan yang dapat mendorong siswa untuk berjuang memperoleh konsep utama suatu bidang tertentu.
3.      Prinsip investigasi konstruktif (constructive investigation) merupakan proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan, yang mengandung kegiatan inkuiri, pembangunan konsep dan resolusi.
4.      Prinsip otonomi (autonomy) diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran, yaitu bebas menentukan pilihannya sendiri, bekerja dengan minimal supervisi, dan bertanggung jawab.
5.      Prinsip realistis (realism) berarti bahwa proyek merupakan sesuatu yang nyata.
         Pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran dengan menggunakan tugas proyek sebagai metode pembelajaran. Para siswa bekerja secara nyata, seolah-olah ada di dunia nyata yang dapat menghasilkan produk secara nyata atau realistis. Prinsip yang mendasari pada pembelajaran berbasis proyek adalah:
1.      Pembelajaran berpusat pada siswa yang melibatkan tugas-tugas proyek pada kehidupan nyata untuk memperkaya pembelajaran.
2.      Tugas proyek menekankan pada kegiatan penelitian berdasarkan suatu tema atau topik yang telah ditentukan dalam pembelajaran.
3.      Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara otentik dan menghasilkan produk nyata yang telah dianalisis dan dikembangkan berdasarkan tema/topik yang disusun dalam bentuk produk (laporan atau hasil karya). Produk tersebut selanjutnya dikomunikasikan untuk mendapat tanggapan dan umpan balik untuk perbaikan produk.
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek
         Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek telah dirumuskan secara beragam oleh beberapa ahli pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek berikut merupakan hasil pengembangan yang dilakukan atas langkah-langkah terdahulu. Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek tersebut disajikan dalam  sebagai berikut:
1.      Praproyek
         Tahapan ini merupakan kegiatan yang dilakukan guru di luar jam pelajaran. Pada tahap ini guru merancang deskripsi proyek, menentukan batu pijakan proyek, menyiapkan media, berbagai sumber belajar, dan kondisi pembelajaran.
a.       Fase 1: Menganalisis Masalah
         Pada tahap ini siswa melakukan pengamatan terhadap objek tertentu. Berdasarkan pengamatannya tersebut siswa mengidentifikasi masalah dan membuat rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan.
b.      Fase 2: Membuat Desain dan Jadwal Pelaksanaan Proyek
         Pada tahap ini siswa secara kolaboratif baik dengan anggota kelompok ataupun dengan guru mulai merancang proyek yang akan mereka buat, menentukan penjadwalan pengerjaan proyek, dan melakukan aktivitas persiapan lainnya.
c.       Fase 3: Melaksanakan Penelitian
         Pada tahap ini siswa melakukan kegiatan penelitian awal sebagai model dasar bagi hasil yang akan dikembangkan. Berdasarkan kegiatan penelitian tersebut siswa mengumpulkan data dan selanjutnya menganalisis data tersebut sesuai dengan teknik analisis data yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.
d.      Fase 4: Menyusun Draf/Prototipe Produk
         Pada tahap ini siswa mulai membuat produk awal sebagaimana rencana dan hasil penelitian yang dilakukannya.
e.       Fase 5: Mengukur, Menilai dan Memperbaiki Produk
         Pada tahap ini siswa melihat kembali produk awal yang dibuat, mencari kelemahan dan memperbaiki produk tersebut. Dalam prakteknya, kegiatan mengukur dan menilai produk dapat dilakukan dengan meminta pendapat atau kritik dari anggota kelompok lain ataupun pendapat guru.
f.       Fase 6: Finalisasi dan Publikasi Produk
         Pada tahap ini siswa melakukan finalisasi produk. Setelah diyakini sesuai dengan harapan, produk kemudian dipublikasikan.
g.      Pasca Proyek
         Pada tahap ini guru menilai, memberikan penguatan, masukan, dan saran perbaikan atas produk yang telah dihasilkan oleh siswa.
h.      Tujuan Pembelajaran Berbasis Proyek
         Pembelajaran berbasis proyek adalah penggerak yang unggul untuk membantu siswa belajar melakukan tugas-tugas autentik dan multidisipliner, menggunakan sumber yang terbatas secara efektif dan bekerja dengan orang lain. Pengalaman di lapangan baik dari guru maupun siswa bahwa pembelajaran berbasis proyek menguntungkan dan efektif sebagai pembelajaran, selain itu memiliki nilai tinggi dalam peningkatan kualitas belajar siswa. 
         Tujuan pembelajaran berbasis proyek adalah membantu siswa agar dapat meningkatkan kreativitas dan motivasi siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pembelajaran berbasis proyek merupakan metode pembelajaran yang berfokus pada siswa dalam kegiatan pemecahan masalah terkait dengan proyek dan tugas-tugas bermakna lainnya.
Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Proyek
         Memperhatikan tipologi yang unik dan komprehensif, model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) cukup potensial untuk memenuhi tuntutan pembelajaran. Terkait dengan hal ini, Anatta (Trianto, 2014) menyebutkan beberapa kelebihan dari model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) di antaranya:
a.    Meningkatkan motivasi, di mana siswa tekun dan berusaha keras dalam mencapai proyek dan merasa bahwa belajar dalam proyek lebih menyenangkan daripada komponen kurikulum yang lain.
b.    Meningkatkan sumber yang mendeskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem yang kompleks.
c.    Meningkatkan kolaborasi, pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan mempraktekkan keterampilan komunikasi. Teori-teori kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam di dalam lingkungan kolaboratif.
d.   Meningkatkan keterampilan mengelola sumber, bila diimplementasikan secara baik maka siswa akan belajar dan praktik dalam mengorganisasi proyek, membuat alokai waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan Syaiful Djamarah dan Aswan Zain (2006) dalam Trianto (2014) menyatakan tentang keuntungan dan keunggulan menggunakan model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) yakni:
7.      Dapat merombak pola pikir siswa dari yang sempit menjadi yang lebih luas dan menyeluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.
8.    Membina siswa menerapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan terpadu, yang diharapkan berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi siswa.
9.    Sesuai dengan prinsip-prinsip didaktik modern. Prinsip tersebut dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kemampuan individual siswa dalam kelompok, bahan pelajaran tidak terlepas dari kehidupan riil sehari-hari yang penuh masalah, pengembangan kreativitas, aktivitas dan pengalaman siswa banyak dilakukan, menjadikan teori, praktik, sekolah, dan kehidupan masyarakat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
kelebihan dari pembelajaran berbasis proyek
         Menurut Moursund beberapa kelebihan dari pembelajaran berbasis proyek antara lain (Wena, 2012) dalam Nashriah (2014):
1.      Meningkatkan motivasi belajar siswa untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
2.      Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
3.      Membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
4.      Meningkatkan kolaborasi.
5.      Mendorong siswa untuk mengembangkan dan mempraktekkan keterampilan komunikasi.
6.      Meningkatkan keterampilan siswa dalam mengelola sumber.
7.      Memberikan pengalaman pembelajaran dan praktek kepada siswa dalam mengorganisasi proyek dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
8.      Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan siswa secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
9.      Melibatkan para siswa untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
10.  Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga siswa maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.
kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek
Beberapa kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek
1.      Banyaknya peralatan yang harus disediakan
2.      Siswa yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan
3.      Ada kemungkinan siswa kurang aktif dalam kerja kelompok. Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan siswa tidak bisa memahami topik secara keseluruhan.
         Untuk mengatasi kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi siswa dalam menghadapi masalah, membatasi waktu siswa dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilik lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan siswa merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
C.    Model Pembelajaran Berbasis Inquiry
         Pembelajaran inquiry pada penelitian ini merupakan model pembelajaran pada proses pembelajaran yang memberikan bimbingan dan informasi-informasi kepada peserta didik yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pengertian model pembelajaran inquiry
         Khoirul Anam ( 2016,h. 7 ) menyatakan tentang model pembelajaran inquiry adalah:
“Secara bahasa, inquiry berasal dari kata inquiry yang merupakan kata dalam bahasa Inggris yang berarti, penyelidikan/meminta keterangan; terjemahan bebas untuk konsep ini adalah “siswa diminta untuk mencari dan menemukan sendiri”. Dalam konteks penggunaan inquiry sebagai metode belajar mengajar, siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran, yang berarti bahwa siswa memiliki andil besar dalam menentukan suasana dan model pembelajaran. Dalam metode ini peserta didik didorong untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar”.
         Dalam pengertian ilmiah seperti yang di tuangkan dalam dictionary of psychology, proses belajar diartikan dalam dua koridor utama berikut: proses memperoleh pengetahuan (the process of acquiring knowledge), dan perubahan kemampuan bereaksi yang relative lenggeng sebagai hasil dari latihan yang kuat ( a relatively permanent chage in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice). Guru dan siswa bukan pendekar dan murid yang sedang belajar ilmu kanuragan, dimana dalam konsidi tertentu, ilmu tersebut dapat diberikan hanya dalam waktu sekejap, guru dan siswa membutuhkan proses yang panjang dalam mentransfer pengetahuan. Tugas utama guru (dan juga lembaga terkait) adalah membuat proses yang panjang tersebut tetap kondusif, aspiratif dan produkstif. Semangat dan motivasi siswa harus tetap dijaga dan dikembangkan supaya proses belajar terasa menyenangkan, dengan demikian, materi pelajaran dapat di sampaikan dengan cepat, tepat dan mudah dicerna.
         Menciptakan, menjaga dan mengembangkan suasana belajar yang kondusif dan produktif merupakan kunci utama dari keberhasilan proses belajar. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan memosisikan siswa sebagai bagian penting dari proses belajar; mengajar mereka untuk terlibat aktif dalam setiap proses di dalamnya. Hal ini di selaraskan dengan maksud dan pengertian dasar dari pembelajaran berbasi inquiry seperti yang dasar dari pembelajaran berbasis inquiry seperti yang di ungkapkan oleh W. Gulo dalam Khoirul Anam (2016,hlm.11) mengatakan bahwa:
“Pembelajaran inquiry berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemapuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merupuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri”.
Langkah-langkah metode pembelajaran berbasis inquiry
a. Discovery Leraning
Proses pembelajaran yang berfokus pada penemuan masalah (sumber pembelajaran) yang berasal dari pengalaman-pengalaman nyata siswa. Sehingga tujuan utama dari discovery learning tidak terletak pada pencarian aplikasi pengetahuan, melainkan suatu upaya untuk membangun pengetahuan secara induktif dari pengalaman-pengalaman siswa dan pengalaman merupakan sumber materi yang dapat dieksplorasi dalam proses pembelajaran.
Dengan menggunakan pengalaman dan kenyataan hidup yang dialami siswa, mereka di ajak untuk peka terhadap berbagai kejadian yang mereka saksikan atau alami secara langsung, yakni dengan cara mengenali, menganalisis, dan menemukan masalah dari kejadina-kejadian tersebut. Kegiatan diawali dengan pengenalan topik bahasa, guru langsung meminta siswa untuk menggali pengalaman mereka terkait dengan topik yang akan dibahas tersebut.
b. Interactive demonstration
Secara umum tahapan ini memberikan kesempaan kepada siswa untuk memahami materi pelajaran melalui demontrasi yang di lakukan oleh guru. Demontrasi tersebut dapat berupa sains, cuplikan video pendek, maupun cara-cara lain yang digunakan guru untuk memperagakan materi yang akan di sampaikan. Proses demontrasi ini berjalan secara interaktif, dimana guru memberikan predikasi dan penjelasan tentang bagaimana sesuatu dapat terjadi serta membuka ruang interaksi dengan siswa. Sehingga siswa tidak hanya menyaksikan demontrasi, tetapi terlibat aktif dengan memberikan pendapat, masukan, atau bahkan kritikan yang membangun.
c. Inquiry lesson
Tahapan ini merupakan tingkatan dimana keterlibatan aktif siswa menjadikan kunci pokoknya. Guru hanya akan berperan sebagai pengawasan dan pembimbinng. Siswa akan diminta untuk melakukan sendiri penelitian atau eksperimen ( sesuai kebutuhan materi yang dibahas). Tahapan ini merupakan juha tahapan transisi antara demontrasi dan laboratory experiences (kegiatan laboratorium). Dalam kegiatan tahap ini siswa akan terlibat dalam kegiatan eksperimen yang lebih kompleks;
d. Inquiry lab
Dalam tahap ini, proses pembeljaran di fokuskan pada eksperimen,dimana siswa dengan bimbingan dari guru menguji teori yang telah dipelajari. Meskipun menggunakan kata “laboratorium”, tahapan ini bukan bearti hanya diperuntukkan bagi pelajaran sain.
Dalam kegiatan inquiry lab setidaknya terdapat tiga jenis pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu :
1). Guided inquiry lab
2). Bounded inquiry lab
3). Free inquiry lab
e. Hypothetical inquiry
Proses pembelajaran yang pada dasarnya merupakan riset yang dilakukan untuk memperdalam pemahaman serta keakuratan suatu teori atau feomena. Dalam proses ini siswa membangun hipotesis yang berasal dari pengujian yang telah mereka laukan pada tahapan sebelumnya (laboratorium). Hasil yang diperoleh dari tahap ini pembuktian dari teori-teori tersebut.
         Tujuan langkah utama dari proses pembelajaran ini ialah menemukan penjelasan yang kemudian diikuti dengan munculnya solusi/jawaban darp permasalahan/fakta yang di angkat dalam materi/topic pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untk mengenali, mamahami, menguji, dan akhirnya membuat hipotesis untuk setiap permasalahan yang disajikan; siswa dapat menemukan atau membanguan permasalahan itu sendiri.
Tabel 1.1
Tahapan pembelajaran inquiry
Tahap
Tingkah Laku Guru
Terkontrol
Guru menentukan topic atau materi pelajaran, siswa mengikuti instruksi dari guru.
Terbimbing
Guru bebas menentukan gaya belajar, namun tetap sesuai dengan bimbingan guru.
Terencana
Siswa dan guru terlibat aktif dalam seluruh proses pembelajaran mulai darp pemilihan tema/topic, proses belajar, hingga model penugasan.
Bebas
Siswa belajar secara mandiri mereka membangun masalah dan memecahkan masalah tersebut dengan usaha mereka sendiri; guru hanya bertindak sebagai fasilitator.


D.    Model Pembelajaran Berbasis CTL
Pengertian Pembelajaran Kontekstual
         Pembelajaran kontekstual pada awalnya dikembangkan oleh John Dewey dari pengalaman pembelajaran tradisionalnya. Pada tahun 1918 Dewey merumuskan kurikulum dan metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman dan minat siswa. Siswa akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di sekelilingnya.
         Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti ”hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks) ” Adapun pengertian CTL menurut Tim Penulis Depdiknas adalah sebagai berikut: Pembelajaran Konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penelitian sebenarnya (authentic assessment).
         Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Siswa didorong untuk mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian mereka akan memposisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan bekal untuk hidupnya nanti.
Sementara itu, Howey R, Keneth, 2001) mendefinisikan CTL sebagai:
         “Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others” (CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson dalam Nurhadi (2002 : 13), ada 8 komponen yang menjadi karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut :
1.      Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningfull connection)
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapatbekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapatbelajar sambil berbuat (learning by doing).
2.       Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masayarakat.
3.      Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Siswa melakukan kegiatan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya yang sifatnya nyata.
4.      Bekerja sama (collaborating)
Siswa dapat bekerja sama. Guru dan siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, guru membantu siswa memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan salingberkomunikasi.
5.      Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking)
Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
6.      Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memberi harapan - harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
7.      Mencapai standar yang tinggi (reaching high standard)
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
8.      Menggunakan penilain autentik (using authentic assessment)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata.
Komponen Pembelajaran Kontekstual
        Terdapat 7 (tujuh) komponen pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme, penemuan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik.
1.      Konstruktivisme (Constructivism).
   Konstruktivisme adalah mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Menurut Sardiman, teori atau aliran ini merupakan landasan berfikir bagi pendekatan kontekstual (CTL). Pengetahuan riil bagi para siswa adalah sesuatu yang dibangun atau ditemukan oleh siswa itu sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus merekonstruksi pengetahuan itu kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata.

2.      Menemukan (Inquiry).
   Menemukan atau inkuiri adalah proses pembelajaran yang didasarkan pada proses pencarian penemuan melalui proses berfikir secara sistematis, yaitu proses pemindahan dari pengamatan menjadi pemahaman sehingga siswa belajar mengunakan keterampilan berfikir kritis.
   Menurut Lukmanul Hakiim, guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga para siswa bekerja menggunakan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur penelitian/investigasi, dan menyiapkan kerangka berfikir , hipotesis, dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman pada dunia nyata.
3.      Bertanya (questioning).
   Bertanya, yaitu mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui dialog interaktif melalui tanya jawab oleh keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Dengan penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam. Dengan mengajukan pertanyaan, mendorong siswa untuk selalu bersikap tidak menerima suatu pendapat, ide atau teori secara mentah. Ini dapat mendorong sikap selalu ingin mengetahui dan mendalami (curiosity) berbagai teori, dan dapat mendorong untuk belajar lebih jauh.
4.      Masyarakat Belajar (learning community).
   Konsep masyarakat belajar (learning community) ialah hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Guru dalam pembelajaran kontekstual (CTL) selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberi tahu yang belum tahu, dan seterusnya.
   Dalam praktiknya “masyarakat belajar” terwujud dalam pembentukan kelompok kecil, kelompok besar, mendatangkan ahli ke kelas, bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama dengan masyarakat.
5.      Pemodelan (modeling)
   Dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, perlu ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Model dalam hal ini bisa berupa cara mengoperasikan, cara melempar atau menendang bola dalam olah raga, cara melafalkan dalam bahasa asing, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu.
   Guru menjadi model dan memberikan contoh untuk dilihat dan ditiru. Apapun yang dilakukan guru, maka guru akan bertindak sebagai model bagi siswa. Ketika guru sanggup melakukan sesuatu, maka siswapun akan berfikir sama bahwa dia bisa melakukannya juga.
6.      Refleksi (reflection).
   Refleksi merupakan upaya untuk melihat, mengorganisir, menganalisis, mengklarifikasi, dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari.
   Realisasi praktik di kelas dirancang pada setiap akhir pembelajaran, yaitu dengan cara guru menyisakan waktu untuk memberikan kesempatan bagi para siswa melakukan refleksi berupa : pernyataan langsung siswa tentang apa-apa yang diperoleh setelah melakukan pembelajaran, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi, dan hasil karya.
7.      Penilaian Otentik (authentic assessment).
   Pencapaian siswa tidak cukup hanya diukur dengan tes saja, hasil belajar hendaknya diukur dengan assesmen autentik yang bisa menyediakan informasi yang benar dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan.
   Penilaian otentik merupakan proses pengumpulan berbagai data untuk memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data ini dapat berupa tes tertulis, proyek (laporan kegiatan), karya siswa, performance (penampilan presentasi) yang terangkum dalam portofolio siswa.
Langkah-Langkah Pembelajaran Kontekstual
Langkah-langkah pembelajaran CTL antara lain :
1.      Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri,menemukan sendiri ,dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2.      Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik.
3.      Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4.      Menciptakan masyarakat belajar.
5.      Menghadirkan model sebagia contoh belajar.
6.      Melakukan refleksi diakhir pertemuan.
7.      Melakukan penialain yang sebenarnya dengan berbagai cara.
E.     Kompetensi Abad 21
Pembelajaran abad 21 dituntuk berbasis teknologi untuk menyeimbangkan tuntutan zaman era milenial dengan tujuan peserta didik akan terbiasa dengan kecakapan hidup abad 21. Oleh karena itu pemerintah merancang pembelajaran abad 21 melalui kurikulum 2013 yang berbasis pada siswa. Sekolah formal pembelajaran sudah dituntut untuk menerapkan kemampuan 4C (Critical Thinking, Communication, Collaboration, Creativity), dalam membiasakan menerapkan 4C dalam kehidupan sehari-hari. (Prihadi, 2017).
Keterampilan 4C wajib dikuasai dan dimiliki oleh setiap peserta didik guna menghadapi tantangan abad 21. Adapun menurut Anies Baswedan (Republika, 2016) keterampilan 4C adalah :
1.      Critical Thinking (berpikir kritis) yaitu kemampuan siswa dalam berpikir kritis berupa bernalar, mengungkap, menganalisis, dan menyelesaikan masalah.
2.      Communication (komunikasi) yaitu bentuk nyata keberhasilan Pendidikan dengan adanya komunikasi yang baik dari para pelaku Pendidikan demi peningkatan kualitas Pendidikan.
3.      Collaboration (kolaborasi) yaitu kemampuan bekerja sama, saling bersinergi dengan berbagai pihak dan tanggung jawab dengan diri sendiri, masyarakat dengan lingkungan. Dengan demikian ia akan senantiasa berguna bagi lingkungannya.
4.      Creativity (kreativitas) yaitu kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Kreativitas peserta didik perlu diasah setiap hari agar menghsilkan terobosan atau inovasi baru bagi dunia Pendidikan. Kretivitas membekali peserta didik yang memiliki daya saing dan memberikan sejumlah peluang baginya untuk dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Dengan keterampilan 4C peserta didik diharapkan mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan serta membangun makna serta menghargai dan menyesuaikan diri dengan cara yang tepat.
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2013:1) memaparkan bahwa pengembangan kurikulum 2013 dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovtif, dan efektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Empat prinsip yang dikenal sebagai empat pilar Pendidikan adalah:
1.      Learning to Know
Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memeperdalam dan memanfaatkan materi pengetahuan (Zubaidah, 2017). Belajar untuk mengetahui dengan cara berpikir kreatif untuk mengetahui akar suatu permasalahan.
2.      Learning to Do
Agar mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya (Zubaidah,2017). Belajar untuk melakukan yaitu mencari jalan keluar dari suatu masalah sebelum bertindak.
3.      Learning to Be
Keterampilan akademik dan kognitif memang keterampilan yang penting bagi seorang siswa, namun bukan merupakan satu-satunya keterampilan yang diperlukan siswa untuk menjadi sukses (Zubaidah,2017). Belajar untuk menjadi manusia mandiri yang utuh.
4.      Learning to Live Together
Siswa yang bekerja secara kooperatif dapat mencapai level kemampuan yang lebih tinggi jika ditinjau dari hasil pemikiran dan kemampuan untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu yang Panjang dari pada siswa yang bekerja secara individu (Zubaidah,2017). Belajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil mampu membuat peserta didik terbiasa untuk berkolaborasi dengan sesamanya.
Empat pilar kegiatan pembelajaran diatas berfokus pada siswa guna menghasilkan pembelajaran bermakna sebagai jawaban atas inovasi Pendidikan menghadapi abad 21.
Disamping 4C, kemendikbud juga meluncurkan program GLS
 ( Gerakan Literasi Sekolah) sebagai upaya pemerintah menjadikan Pendidikan berkualitas dengan budaya literasi membaca dan menulis (Suragangga, 2016).
Dalam permendikbud nomor 23 tahun 2015 telah menyadari pentingnya penumbuhan karakter peserta didik melalui kebijakan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (2016:7-8) menjelaskan bahwa GLS merupaka suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif, dengan melibatkan warga sekolah, akademisi, masyarakat, dunia usaha.
Menurut Abidin (2017), ciri-ciri dari sekolah literasi adalah sebagai berikut :
1.      Bervisi literasi adalah sekolah memiliki visi, misi, tujuan, setrategi pencapaian dan sasaran program secara jelas.
2.      Memiliki SDM yang peduli literasi yaitu warga sekolah satu misi untuk mengembangkan sekolah literasi melalui pengembangan sekolah literasi.
3.      Memiliki sarana berliterasi yaitu memiliki ruang bagi peserta didik untuk menyalurkan minat dan motivasinya dalam melakukan kegiatan literasi baik kegiatan membaca maupun lainnya.
4.      Memiliki ragam berliterasi yaitu memiliki program yang membentuk kebiasaan dan budaya siswa dalam membaca, menulis dan berbicara dalam multikonteks dan multibudaya, dengan kata lain program sekolah bersifat berkelanjutan, fleksibel, dan komprehensif.
5.      Menerapkan pembelajaran literasi yaitu menerapkan metode atau model pembelajaran literasi yang susuai dengan karakteristik peserta didik dan kurikulum yang berlaku. 








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
a)             Model Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning
1.             Pengertian pembelajaran Berbasis Problem Based Learning
2.             Tujuan Problem Based Learning (PBL)
3.             Karakteristik Project Based Learning
4.             Langkah proses Problem Based Learning
5.             Keunggulan Problem Based Learning
6.             Kelemahan Problem Based Learning

b)            Model Pembelajaran Berbasis Project Based Learning
1.             Pengertian pembelajaran Berbasis Based Learning
2.             Karakteristik dan Prinsip-prinsip Pembelajaran Berbasis Proyek (project based learning)
3.             Prinsip-prinsip pembelajaran Berbasis Proyek
4.             Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek
5.             Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Proyek

c)             Model Pembelajaran Berbasis Inquiry
1.             Pengertian model pembelajaran inquiry
2.             Langkah-langkah metode pembelajaran berbasis inquiry

d)            Model Pembelajaran Berbasis CTL
1.             Pengertian Pembelajaran Kontekstual
2.             Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
3.             Komponen Pembelajaran Kontekstual
4.             Langkah-Langkah Pembelajaran Kontekstual

e.              Kompetensi Abad 21
Pembelajaran abad 21 dituntuk berbasis teknologi untuk menyeimbangkan tuntutan zaman era milenial dengan tujuan peserta didik akan terbiasa dengan kecakapan hidup abad 21. Oleh karena itu pemerintah merancang pembelajaran abad 21 melalui kurikulum 2013 yang berbasis pada siswa. Sekolah formal pembelajaran sudah dituntut untuk menerapkan kemampuan 4C (Critical Thinking, Communication, Collaboration, Creativity), dalam membiasakan menerapkan 4C dalam kehidupan sehari-hari. (Prihadi, 2017).















DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus, dkk. (2017). Pembelajaran Literasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdiknas, Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual,(Jakarta: Direktorat Sekolah Lanjutan       Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah: 2003).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2013). Panduan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Mulyasa, H.E., Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: Remaja      Rosdakarya, 2013).
Nurhadi, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), (Jakarta: Departemen       Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat PLP, 2002).
Prihadi, Singgih. (2017). Penguatan Keterampilan Abad 21 Melalui Pembelajaran Mitigasi Bencana Banjir. Prosiding Seminar Nasional PendidikanGeografi FKIP UMP 2017, 45-50.
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:   Rajawali Pers, 2011).
Suragangga, I Made Ngurah. (2016). Mendidik Lewat Literasi untuk Pendidikan Berkualitas. Jurnal Penjaminan Mutu. 154-163.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2016). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Zubaidah, Siti. (2017). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Universitas Negeri Malang. 2-17.